BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Di era modern ini, manusia
sebagai makhluk berbudaya dan berbahasa memiliki potensi dan ilmu dalam berinteraksi di kehidupan sehari-harinya, tidak bisa dipungkiri bahwa manusia akan
berinteraksi satu sama lain yang memiki bahasa dan budaya yang berbeda. Karena
manusia sudah ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang akan selalu berinteraksi
dengan manusia lain.
Dalam interaksi antar satu manusia dan manusia lain, maka dibutuhkan
sesuatu alat komunikasi yaitu ‘Bahasa’. Bahasa adalah hal yang berperan penting dalam
kehidupan kita. Bahasa memiliki banyak fungsi seperti untuk berkomunikasi
dengan orang lain dan untuk menyampaikan gagasan. Bahasa tidaklah muncul secara
tiba-tiba. Setiap bahasa yang ada di dunia ini memiliki sejarah masing-masing. Termasuk
Bahasa Indonesia yang memiliki sejarah mulai sejak muncul, proses penyempurnaan
hingga sekarang ini menjadi bahasa yang kita gunakan dalam kehidupan kita.
Sehingga muncul beberapa teori tentang cara
pemerolehan serta perkembangan bahasa. Akibatnya bahasa juga memiliki banyak
ragam serta jenis. Di dalam suatu negara bahasa juga memiliki kedudukan,
seperti sebagai bahasa nasional, alat pemersatu bangsa, lambang dan lain-lain.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah hakikat bahasa, fungsi bahasa,
dan ragam bahasa secara universal ?
2.
Bagaimanakah Teori pemerolehan dan
perkembangan bahasa ?
3.
Bagaimanakah Sejarah Bahasa Indonesia
dan kedudukan Bahasa Indonesia ?
C.
TUJUAN
Tujuan dari pembuatan
Makalah ini adalah
1.
Menjelaskan hakikat bahasa, fungsi
bahasa, dan ragam bahasa secara universal
2.
Menjelaskan teori pemerolehan dan
perkembangan bahasa
3.
Menjelaskan sejarah bahasa Indonesia dan
kedudukan bahasa Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Bahasa, Fungsi Bahasa dan Ragam Bahasa
1.
Hakikat Bahasa
Bahasa
adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota
kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan
diri. (Krisdalaksana : 1983)
Secara
ontologis, hakikat bahasa dapat
dijabarkan sebagai berikut:
a. Bahasa
adalah Sistemik
Karena
bahasa memiliki sistem, aturan, atau pola-pola tertentu. Secara umum bahasa
mempunyai dua sistem, yaitu sistem bunyi dan sistem makna.
b. Bahasa
bersifat Arbitrer
Karena
tidak adanya aturan yang mengatur secara khusus dalam membentuk leksikal (kata)
dalam suatu bahasa, yang ada hanyalah suatu kesepakatan, juga konvensi yang
bersifat lokal mengenai kata yang dibentuk.
c. Bahasa
Vokal
Karena
hakikatnya bunyi yang dihasilkan dalam bahasa itu adalah bunyi yang dihasilkan
oleh altikulor (alat ucap), sehingga bahasa yang sebenarnya adalah bahasa lisan
(vokal).
d. Bahasa
itu Simbol
Pada
hakikatnya bahasa adalah simbol atau lambang bunyi yang digunakan untuk
berkomunikasi secara singkat dan efisien.
Simbol
atau lambang yang diungkapkan itu selalu mengacu pada suatu maksud, baik riil
atau abstrak. Seperti, kata “kuda” yang kita ucapkan itu mengacu pada binatang
berkaki empat, berkuku satu yang biasa dipelihara orang untuk digunakan sebagai
kendaraan (tunggangan atau penarik) (definisi riil).
e. Bahasa
Mengacu pada Dirinya Sendiri
Dapat
digunakan untuk menjelaskan, menyebut, mendeskripsikan bahasa itu sendiri.
f. Bahasa
Komunikasi
Karena
merupakan fungsi utama bahasa, manusia dapat saling berkomunikasi, merespon,
dan saling memahami apa saja yang diungkapkan satu sama lain.
g. Bahasa
itu Dinamis
Karena
bahasa itu selalu terus menerus mengalami perubahan dan perkembangan
2.
FUNGSI
BAHASA
a.
Bahasa sebagai sarana Komunikasi
Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi
antara anggota masyarakat. Fungsi tersebut digunakan dalam berbagai lingkungan,
tingkatan, dan kepentingan yang beraneka ragam, misalnya : komunikasi sosial, bisnis,
kerja, dan budaya.
b. Bahasa
sebagai sarana adaptasi dan integrasi
Dengan bahasa orang dapat menyatakan
hidup bersama dalam suatu ikatan. Misalnya : integritas kerja dalam sebuah
institusi, integritas kerja sama dalam bidang bisnis, integritas berbangsa dan
bernegara.
c. Bahasa
sebagai kontrol sosial
Bahasa sebagai kontrol sosial berfungsi
untuk mengendalikan komunikasi agar orang yang terlibat dalam komunikasi dapat
saling memahami.
d. Bahasa
sebagai sarana memahami diri
Dalam membangun karakter seseorang harus
dapat memahami dan mengidentifikasi kondisi dirinya terlebih dahulu. Ia harus
dapat menyebutkan potensi dirinya, kelemahan dirinya, kekuatan dirinya, bakat,
kecerdasan, kemampuan intelektualnya, kemauannya, tempramennya, dan sebagainya.
e. Bahasa
sebagai ekspresi diri
Bahasa sebagai ekspresi diri dapat
dilakukan dari tingkat yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.
f. Bahasa
sebagai sarana memahami orang lain
Untuk menjamin efektifitas komunikasi,
seseorang perlu memahami orang lain, seperti dalam memahami dirinya. Dengan
pemahaman terhadap seseorang, pemakaian bahasa dapat mengenali berbagai hal
mencakup kondisi pribadinya.
g. Bahasa
sebagai sarana mengamati lingkungan sekitar
Bahasa sebagai alat untuk mengamati
masalah tersebut harus diupayakan kepastian konsep, kepastian makna, dan
kepastian proses berfikir sehingga dapat mengekspresikan hasil pengamatan
tersebut secara pasti. Misalnya apa yang melatar belakangi pengamatan, bagaimana
pemecahan masalahnya, mengidentifikasi objek yang diamati, menjelaskan
bagaimana cara (metode) mengamati, apa tujuan mengamati, bagaimana hasil
pengamatan, dan apa kesimpulan.
h. Bahasa
sarana berfikir logis
Kemampuan berfikir logis memungkinkan
seseorang dapat berfikir logis induktif, deduktif, sebab – akibat, atau
kronologis sehingga dapat menyusun konsep atau pemikiran secara jelas, utuh dan
konseptual. Melalui proses berfikir logis, seseorang dapat menentukan tindakan
tepat yang harus dilakukan.
i.
Bahasa membangun kecerdasan
Kecerdasan berbahasa terkait dengan
kemampuan menggunakan sistem dan fungsi bahasa dalam mengolah kata, kalimat,
paragraf, wacana argumentasi, narasi, persuasi, deskripsi, analisis atau pemaparan,
dan kemampuan mengunakan ragam bahasa secara tepat sehingga menghasilkan
kreativitas yang baru dalam berbagai bentuk dan fungsi kebahasaan.
j.
Bahasa mengembangkan kecerdasan ganda
Selain kecerdasan berbahasa, seseorang
dimungkinkan memiliki beberapa kecerdasan sekaligus. Kecerdasan – kecerdasan
tersebut dapat berkembang secara bersamaan. Selain memiliki kecerdasan
berbahasa, orang yang tekun dan mendalami bidang studinya secara serius
dimungkinkan memiliki kecerdasan yang produktif.
k. Bahasa
membangun karakter
Kecerdasan berbahasa memungkinkan
seseorang dapat mengembangkan karakternya lebih baik. Dengan kecerdasan
bahasanya, seseorang dapat mengidentifikasi kemampuan diri dan potensi diri.
l.
Bahasa Mengembangkan profesi
Proses pengembangan profesi diawali
dengan pembelajaran dilanjutkan dengan pengembangan diri (kecerdasan) yang
tidak diperoleh selama proses pembelajaran, tetapi bertumpu pada pengalaman
barunya. Proses berlanjut menuju pendakian puncak karier / profesi.
m.
Bahasa sarana
menciptakan kreatifitas baru
Bahasa sebagai
sarana berekspresi dan komunikasi berkembang menjadi suatu pemikiran yang logis
dimungkinkan untuk mengembangkan segala potensinya. Perkembangan itu sejalan
dengan potensi akademik yang dikembangkannya.
3.
RAGAM BAHASA
a.
Ragam Bahasa Berdasarkan Tempat
1)
Ragam Dialek
Ragam dialek adalah ragam bahasa
yang dipengaruhi oleh bahasa daerah si pembicara atau ragam bahasa daerah yang
ditandai oleh daerah atau kota.
b.
Ragam Bahasa Berdasarkan Sarana
1)
Ragam Lisan
Ragam lisan
adalah ragam bahasa yang diungkapkan dengan sarana lisan yang ditandai oleh
pengulangan intonasi, spontanitas sehingga kriteria kejelasan ketepatan dan
kelugasan terpenuhi oleh si penutur.
2)
Ragam Tulisan
Ragam
tulisan adalah variasi bahasa yang digunakan melalui sarana tulisan dan dapat
diperkuat atau didukung oleh sarana visual untuk mencapai sasaran.
c.
Ragam Bahasa Berdasarkan Penutur
1)
Ragam bahasa berdasarkan pendidikan penutur
Bahasa Indonesia yang digunakan oleh
kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan,
terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing,
misalnya fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang
tidak berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin,
pideo, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa,
misalnya mbawa seharusnya membawa,
nyari seharusnya mencari.
2)
Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur
Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh
setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap
pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai.
Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga
mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang
bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat jarak
antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam
bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara
akan makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat
kebakuan bahasa yang digunakan.
d.
Ragam Bahasa Berdasarkan Situasi
1)
Ragam Baku
Ragam baku
adalah ragam bahasa yang dipakai dalam forum resmi. Ragam ini bisa juga disebut
ragam resmi
2)
Ragam Tidak Baku
Ragam tidak baku adalah ragam bahasa
yang menyalahi kaidah-kaidah yang terdapat dalam bahasa baku.
e.
Ragam Bahasa Berdasarkan Bidang
1)
Ragam Ilmu dan Teknologi
Ragam ilmu dan teknologi adalah
ragam bahasa yang digunakan dalam bidang keilmuan dan teknologi
2)
Ragam Sastra
Ragam satra adalah ragam bahasa yang
bertujuan untuk memperoleh kepuasan estetis dengan cara penggunaan kata secara
cermat dengan gramatikal tertentu.
3)
Ragam Niaga
Ragam niaga adalah ragam bahasa yang
digunakan untuk menarik pihak konsumen agar dapat melakuakan tindak lanjut
dalam kerjasama untuk mencari suatu keuntungan finansial.
B. TEORI PEMEROLEHAN DAN PERKEMBANGAN BAHASA
1.
Pemerolehan
Bahasa
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah
proses-proses yang berlaku di dalam otak seorang anak ketika memperoleh bahasa
ibunya. Untuk dapat melekukan kajian tenteng pemerolehan bahasa, perlu kita
memahami konsep pemerolehan bahasa. Pemerolehan bahasa dibagi menjadi dua,
yaitu pemerolehan bahasa pertama ( first laguage acquisition) yang biasa
disebut dengan bahasa ibu atau B1 dan pemerolehan bahasa kedua (second laguage
acquisition) yaitu kajian tentang bagaimana pembelajra mempelajari sebuah
bahasa lain setelah dia memperoleh bahasa ibunya.
Mengikuti penelitan secara empiris, tedapat dua teori
utama tentang bagaimana manusia memperoleh bahasa pertamanya yang
diperbincangkan dikalangan para peneliti.
a. Nativist Theory
Berpendapat bahwa manusia memeperoleh bahasanya secara
alami. Kemudian teori ini dikenal dengan hipotesis nurani yang dipelopri oleh Leneberg dan Chomsky. Hipotesis nurani lahir dari sebuah pertanyaan, sebenarnya
alat apa yang digunakan anak dalam memperoleh bahasanya yang kemudian dijadikan
bahan penelitian oleh kedua pelopor tersebut.hasil penelitan tersebut adalah
sebagai berikut:
1)
Semua anak
normal akan memperoleh bahasa ibunya asalkan dia dikenalkan dengan bahasa itu.
2)
Pemerolehan
bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan.
3)
Kalimat yang
digunakan anak cenderung tanpa menggunakan gramatikal, tidak lengkap dan
jumlahnya sedikit.
4)
Hanya manusia
yang bisa berbahasa.
5)
Perkembangan
bahsa anak sejalan dengan perkembangan lain.
6)
Srtuktur bahsa
sangat rumit, komoleks dan istimewa.
b. Learning Theory
Menyatakan bahwa manusia memperoleh bahasa melalaui
proses mempelajari. Teori ini lahir dari pakar psikologi dari Harvard yaitu
B.F.Skinner. Skinner adalah seorang toko Behaviorisme yang menyatakan bahasa
adalah perilaku verbal. Behaviorisme adalah aliran psikologi yang
mempelajari tentang perilaku yang nyata yang bisa diuukur secara objektiv.
2.
Teori
Perkembangan Bahasa
Kemunculan bahasa dalam pandangan Michael C.
Corballis, dimulai dari bahasa isyarat, oleh karena itu pernyataan: “pokok
bahasa (jauharu al-lughah) ada pada perkataan (kalam)” tidak sepenuhnya benar.
Sebab, secara keseluruhan segala sesuatu bermula dari isyarat (ini/itu),
terbukti dengan masih adanya beberapa bahasa isyarat yang masih ada sampai
sekarang. Seperti isyarat tangan untuk menunjuk sesuatu, isyarat mata untuk
kode tertentu, isyarat kepala untuk mengiyakan sesuatu dan isyarat-isyarat lain
yang menunjukkan terhadap kalimat-kalimat tertentu yang lain.
Perkembangan bahasa berikutnya muncullah bahasa secara
definitif yang terbagi ke dalam beberapa fase, sebagaimana berikut : Fase
pertama adalah bunyi kekanak-kanakan yang muncul mulai dari masa balita, kemudian
fase kedua bunyi yang ditangkap dari meniru dalam bentuk yang paling sederhana,
seperti sebutan (maa) bagi anak-anak balita untuk memanggil ibunya. Fase ketiga
adalah bunyi yang berulang-ulang, fase keempat adalah pelafalan kata, fase
kelima adalah pembuatan kalimat dan
terakhir fase keenam adalah kodivikasi kaidah.
Teori Perkembangan Bahasa
Penelitian yang dilakukan terhadap perkembangan bahasa
anak tentunya tidak terlepas dari pandangan, hipotess atau teori psikologi yang
dianut. Dalam hal ini sejarah telah mencatat adanya tiga pandangan atau teori
dalam perkembangan bahasa anak. Dua pandangan yaitu pandangan NATIVISME yang
berpendapat bahwa penguasaan bahasa pada kanak-kanak bersifat alamiah dan
pandangan BEHAVIORISME yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa pada
kanak-kanak bersifat “suapan”. Pandangan ketiga muncul di Eropa dari Jean
Piaget yang berpendapat bahwa pengusaan bahasa adalah kemampuan yang
berasal dari pematangan kognitif, sehingga disebut KOGNITIVISME. Berikut ini
akan dijelaskan secara singkat ketiga pandangan tersebut :
TEORI
NATIVISME
Menurutnya, bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia,
binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat Chomsky
didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu
yang diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki pola perkembangan yang sama
(merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan memiliki peran kecil di
dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam
waktu yang relatif singkat.Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat
menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang
dewasa.
Kaum nativis berpendapat bahwa bahasa itu terlalu
kompleks dan rumit, sehingga mustahil dapat dipelajari dalam waktu singkat melalui
metode seperti “peniruan” (imitation). Jadi, pasti ada beberapa aspek
penting mengenai sistem bahasa yang sudah ada pada manusia secara alamiah.
Nativisme juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan
suatu alat untuk memperoleh bahasa (language acquisition device, disingkat
LAD). Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh anak bergantung pada bahasa yang
digunakan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan
di lingkungan Amerika sudah pasti bahasa Inggris menjadi bahasa pertamanya.
McNeill (Brown, 1980: 22) menyatakan bahwa LAD terdiri
dari: (a) kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain,
(b) kecakapan mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang
akan berkembang kemudian, (c) pengetahuan tetang sistem bahasa yang mungkin dan
yang tidak mungkin, dan (d) kecakapan menggunakan sistem bahasa yang didasarkan
pada penilaian perkembangan sistem linguistik, dengan demikian dapat melahirkan
sistem yang dirasakan mungkin di luar data linguistik yang ditemukan.
TEORI
BEHAVIORISTIK
Teori behaviorisme memandang bahwa perilaku manusia
merupakan perilaku yang dapat dipelajari dan diamati secara nyata, dan
terbentuk karena dipengaruhi oleh faktor eksternal (diluar diri manusia). Teori
ini kemudian diaplikasikan dalam konsep belajar. Menurut aliran ini, belajar
merupakan proses respons karena adanya stimulus/rangsangan yang mendorong
adanya perubahan perilaku. Stimulus belajar dapat berupa motivasi,
ganjaran(reward), hukuman (punishment), dan lingkungan yang kondusif.
Teori Behavioristik pertama kali dimunculkan
oleh Jhon B.Watson (1878-1958),
seorang ahli psikologi berkebangsaan Amerika. Dia mengembangkan Teori
Stimulus-Respons Bond (S – R Bond) yang telah diperkenalkan oleh Ivan P.Pavlov.
Menurut teori ini tujuan utama psikologi adalah membuat prediksi dan
pengendalian terhadap perilaku, dan sedikitpun tidak ada hubungannya dengan
kesadaran.
Menurut kaum behavioris kemampuan berbicara dan
memahami bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkunganya. Anak
dianggap penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak memiliki peran yang
aktif di dalam proses perkembangan perilaku verbalnya. Kaum behavioris bukan
hanya tidak mengakui peranan aktif si anak dalam proses pemerolehan bahasa,
malah juga tidak mengakui kematangan si anak itu. Proses perkemabangan bahasa
terutama ditentukan oleh lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungannya.
Kaum behavioris tidak mengakui pandangan bahwa anak
mengusai kaidah bahasa dan memiliki kemampuan untuk mengabstrakan ciri-ciri
penting dari bahasa di lingkunganya. Mereka berpendapat rangsangan
(stimulus) dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbahasa anak.
Perkembangan bahasa mereka pandang sebagai suatu kemajuan dari pengungkapan verbal
yang berlaku secara acak sampai ke kemampuan yang sebenarnya untuk
berkomunikasi melalui prinsip
pertalian S <->R
(stimulus- respons) dan proses peniruan-peniruan.
Selanjutnya Bell (1981:24) mengungkapkan pandangan
aliran behaviorisme yang dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimanakah
sesungguhnya manusia memelajari bahasa, yaitu:
Dalam upaya menemukan penjelasan atas proses
pembelajaran manusia, hendaknya para ahli psikologi memiliki pandangan bahwa
hal-hal yang dapat diamati saja yang akan dijelaskan, sedangkan hal-hal yang
tidak dapat diamati hendaknya tidak diberikan penjelasan maupun membentuk
bagian dari penjelasan.
Pembelajaran itu terdiri dari pemerolehan kebiasaan,
yang diawali dengan peniruan. Respon yang dianggap baik menghasilkan imbalan
yang baik pula. Kebiasaan diperkuat dengan cara mengulang-ulang stimuli dengan
begitu sering sehingga respon yang diberikan pun menjadi sesuatu yang bersifat
otomatis.
TEORI
KOGNITIVISME
Jean piaget (1954) menyatakan bahwa bahasa itu bukanlah
suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu diantara beberapa
kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar;
maka perkembangan bahasa harus berlandas pada perubahan yang lebih mendasar dan
lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urut-urutan perkembangan kognitif menentukan
urutan perkembangan bahasa.
Piaget menegaskan bahwa struktur yang kompleks dari
bahasa bukanlah sesuatu yang diberikan oleh alam, dan bukan pula sesuatu yang
dipelajari dari lingkungan. Struktur bahasa itu timbul sebagai akibat interaksi
yang terus-menerus antara tingkat fungsi kognitif si anak dengan lingkungan
kebahasaannya (juga lingkungan lain). Struktur itu timbul secara tak terelakan
dari serangkaian interaksi. Oleh karena itu timbulnya tak terelakan, maka
struktur itu tidak perlu tersedia secara alamiah.
Jika Chomsky berpendapat bahwa lingkungan tidak besar
pengaruhnya pada proses pematangan bahasa, maka Piaget berpendapat bahwa
lingkungan juga tidak besar pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak.
Perubahan atau perkembangan intelektual anak sangat tergantung pada
keterlibatan anak secara akatif dengan lingkungannya.
Bagaimana hubungan antara perkembangan kognitif dan
perkembangan bahasa pada anak dapat kita lihat dari keterangan Piaget mengenai
tahap paling awal dari perkembangan intelektual anak. Tahap perkembangan dari
lahir sampai usia 18 bulan oleh Piaget disebut sebagai tahap “sensori motor”.
Pada tahap ini dianggap belum ada bahasa karena anak belum menggunakan lambang-lambang
untuk menunjuk pada benda-benda di sekitarnya. Anak pada tahap ini memahami
dunia melalui alat indranya (sensorik) dan gerak kegiatan yang dilakukannya
(motorik). Anak hanya mengenal benda jika benda itu dialaminya secara langsung.
Begitu benda itu hilang dari penglihatannya maka benda itu dianggap tidak ada
lagi. Menjelang akhir usia satu tahun barulah anak itu dapat menangkap bahwa
objek itu tetap ada (permanen), meskipun sedang tidak dilihatnya. Sedang
dilihat atau tidak benda itu tetap ada sebagai benda, yang memiliki sifat
permanen.
Sesudah mengerti kepermanenan objek anak mulai
menggunakan simbol untuk mempresentasikan objek yang tidak lagi hadir di
hadapannya. Simbol ini kemudian menjadi kata-kata awal yang diucapkan si anak.
Jadi, menurut pandangan kognitivisme perkembangan kognitif harus tercapai lebih
dahulu dan baru sesudah itu pengetahuan itu dapat keluar dalam bentuk
ketrampilan berbahasa.
C. SEJARAH BAHASA INDONESIA DAN KEDUDUKAN BAHASA
INDONESIA
1.
Sejarah Bahasa Indonesia
a.
Asal Mula
Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah
bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan
modern.
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan
di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar
ke berbagai tempat di Nusantara, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau
Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7
di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis
semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian
dari wilayah pulau Sumatera.
Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman
karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya akhirnya keluar Bumi Melayu,
belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke
dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang
merupakan salah satu marga di Sumatera Barat.
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512
sehingga penduduknya melarikan diri sampai ke kawasan timur kepulauan
Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan,
jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari
pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu
kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak
Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Kerajaan Sriwijaya dari
abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna)
sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan
peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata
pinjaman dari bahasa Sanskerta,
suatu bahasa Indo-Eropa
dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas,
karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap
sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay).
Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan
Melaka, yang perkembangannya kelak
disebut sebagai bahasa Melayu
Tinggi. Penggunaannya terbatas di
kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda,
Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat
pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk
kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun,
meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan
di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan
kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak,
polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat
laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang
mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata
Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan
sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace
pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai
bahasa yang paling penting di "dunia timur".
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad
ke-19 Raja Ali Haji
dari istana Riau-Johor
(pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat
dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan
bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan
dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat
paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara:
bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi
yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan
sebagai lingua franca,
tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat
dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena
penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan
menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab
rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa.
Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan
penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah
"embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari
bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie
voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun
1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai
Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di
bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa
instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua
tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi
diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional
atas usulan Muhammad Yamin,
seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres
Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang
ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan
menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa
itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau
bahasa persatuan.”
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan
Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam
Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah
perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi
bahasa Indonesia.
b. Peristiwa-peristiwa penting
1)
Tahun
1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang
diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada
tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel,
seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun
memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di
kalangan masyarakat luas.
2)
Tanggal
16 Juni 1927 Jahja
Datoek Kajo
menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya
dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa
Indonesia.[17]
3)
Tanggal
28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi
bahasa persatuan Indonesia.
4)
Tahun
1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan
Takdir Alisyahbana.
5)
Tahun
1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
6)
Tanggal
25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres
Bahasa Indonesia I di Solo.
Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan
bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan
Indonesia saat itu.
7)
Tanggal
18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang
Dasar 1945, yang salah satu
pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
8)
Tanggal
19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang
berlaku sebelumnya.
9)
Tanggal
28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan.
Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus
menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan
ditetapkan sebagai bahasa negara.
10)
Tanggal
16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan
penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato
kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden
No. 57 tahun 1972.
11)
Tanggal
31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi
berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
12)
Tanggal
28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di
Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang
ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa
Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia.
13)
Tanggal
21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta.
Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang
ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara
Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat
tercapai semaksimal mungkin.
14)
Tanggal
28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di
Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia
dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan
dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada
pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus
Besar Bahasa Indonesia
dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
15)
Tanggal
28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di
Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta
tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong,
India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan
statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya
Undang-Undang Bahasa Indonesia.
16)
Tanggal
26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan
dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
c. Penyempurnaan ejaan
Ejaan-ejaan untuk bahasa
Melayu/Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut:
1) Ejaan van Ophuijsen
Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun
1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen
itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini
yaitu:
a)
Huruf ï
untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus
disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan
untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
b)
Huruf j
untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
c)
Huruf oe
untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
d)
Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan
kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.
2) Ejaan Republik
Ejaan ini diresmikan
pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga
dikenal dengan nama Ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
a)
Huruf oe diganti dengan u
pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
b)
Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis
dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
c)
Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2
seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
d)
Awalan di- dan kata depan di
kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.
3) Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)
Konsep
ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama
tahun-tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.
4) Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)
Ejaan
ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik
Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972.
Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa
Malaysia, semakin dibakukan.
2.
Kedudukan Bahasa Indonesia
a.
Kedudukan bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Kedudukan pertama bahasa Indonesia adalah sebagai
bahasa persatuan. Hal ini tercantum dalam Sumpah pemuda (28 Oktober 1928). Ini
berarti bahwa bahasa Indonesia berkedudukan sebagai Bahasa Nasional. Kedua
adalah sebagai bahasa negara. Dalam
kedudukannya sebagai Bahasa Nasional, Bahasa Indonesia memiliki beberapa fungsi
yaitu :
1)
Lambang kebanggaan kebangsaan
Bahasa Indonesia
mencerminkan nilai-nilai luhur yang mendasari perilaku bangsa Indonesia
2) Lambang Identitas Nasional
Bahasa Indonesia mewakili jatidiri bangsa Indonesia,
selain Bahasa Indonesia terdapat pula lambang identitas nasional yang lain
yaitu bendera Merah-Putih dan lambang negara Garuda Pancasila.
3) Alat perhubungan
Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku dengan
bahasa yang berbeda-beda, maka sangat sulit berkomunikasi kecuali ada satu
bahasa pokok yang digunakan. Oleh karena itu digunakanlah Bahasa Indonesia
sebagai alat komunikasi dan perhubungan nasional.
4)
Alat pemersatu bangsa
Mengacu pada keragaman yang ada pada Indonesia dari
suku, agama, ras, dan budaya, bahasa Indonesia dijadikan sebagai media yang
dapat membuat kesemua elemen masyarakat yang beragam tersebut kedalam sebuah
persatuan.
b. Kedudukan Bahasa
Indonesia Sebagai Bahasa Negara
Bahasa negara sama saja dengan bahasa nasional atau
bahasa persatuan artinya bahasa negara merupakan bahasa primer dam baku yang sering
digunakan pada kesempatan yang formal.
Kedudukan bahasa Indonesia
sebagai bahasa Negara yaitu :
1)
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan
Kedudukan pertama dari Kedudukan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa Negara dibuktikan dengan digunakannya bahasa Indonesia dalam
naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Mulai saat itu dipakailah bahasa
Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk
lisan maupun tulis.
2)
Bahasa Indonesia sebagai alat pengantar dalam
dunia pendidikan.
Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara
dibuktikan dengan pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di
lembaga pendidikan dari taman kanak-kanak, maka materi pelajaran yang berbentuk
media cetak juga harus berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan
menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing atau menyusunnya sendiri. Cara ini
akan sangat membantu dalam meningkatkan perkembangan bahasa Indonesia sebagai
bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek)
3)
Bahasa Indonesia sebagai penghubung pada tingkat
Nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta
pemerintah
Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara
dibuktikan dengan digunakannya Bahasa Indonesia dalam hubungan antar badan
pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan
itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media
komunikasi massa. Tujuannya agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan
cepat dan tepat diterima oleh masyarakat.
4)
Bahasa Indonesia Sebagai Pengembangan Kebudayaan
Nasional, Ilmu dan Teknologi
Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara
dibuktikan dengan penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi, baik melalui
buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media
cetak lainnya. Karena sangat tidak mungkin bila suatu buku yang menjelaskan
tentang suatu kebudayaan daerah, ditulis dengan menggunakan bahasa daerah itu
sendiri, dan menyebabkan orang lain belum tentu akan mengerti isi buku tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Bahasa
adalah sarana untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik
yaitu yang diterima dan dipatuhi pemakaiannya secara universal. Ragam bahasa
adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik dan
orang yang dibicarakan, serta menurut media pembicaraan.
2.
Pemerolehan bahasa
adalah proses-proses yang berlaku di dalam otak seorang anak ketika memperoleh
bahasa ibunya. Adapun teori – teorinya adalah Nativist Theory dan Learning
Theory. Pemerolehan bahasa pertama
adalah apabila seseorang memperoleh bahasa yang semula tanpa bahasa. Pemerolehan
bahasa kedua (PB2) mengacu kepada mengajar dan belajar bahasa asing dan bahasa
kedua lainnya. Maksudnya adalah pemerolehan bahasa selain dari bahasa ibunya.
3.
Bahasa Indonesia
berasal dari varian bahasa melayu yang sudah digunakan sejak awal-awal
penanggalan modern. Bahasa Indonesia mengalami banyak perkembangan dan
penyempurnaan ejaan. Kedudukan Bahasa Indonesia adalah sebagai Bahasa Nasional
dan Bahasa Negara.
B.
SARAN
1.
Pada
ragam bahasa lisan diharapkan para warga Indonesia terutama mahasiswa sebagai
insan berpendidikan mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik, sopan, serta
mengikuti pedoman yang ada sesuai denga ejaan bahasa yang telah disempurnakan
(EYD).
2.
Dalam menggunakan bahasa Indonesia kita
harus menerapkan konsep dasar dalam berbahasa serta mengembangkan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar dan tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam
kehidupan sehari-hari pada saat beraktifitas.
3.
Diharapkan para pembaca dapat memahami
hakikat, funsi, ragam, sejarah, kedudukan serta konsep-konsep dasar Bahasa
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Doyin, Mukh dan
Wagiran.2012.Bahasa Indonesia Pengantar
Penulisan Karya Ilmiah.Semarang : UNNES PRESS
https://www.academia.edu/4361429/PENGERTIAN_and_HAKIKAT_BAHASA_RANGKU MAN_I_PENGANTAR_LINGUISTIK_UMUM
http://ebdaaprilia.wordpress.com/2013/03/30/makalah-bahasa-indonesia-bahasa-sebagai-alat-komunikasi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar