Pages

Senin, 09 Mei 2016

Teori Pendidikan Multikultural



BAB III

TEORI  PENDIDIKAN MULTIKULTURAL



A.    Teori Pendidikan Multikultural
1.    Pendapat Horace Kallen tentang pendidikan multikultural.
2.    Tiga macam kelompok yang terlibat dalam pembahasan pendidikan multikultural menurut James A. Banks.
3.    Pandangan Bill Martin tentang multukultural.
4.    Pandangan martin J.Back matustik tentang hubungan antara multikultural dengan Plato.
5.    Pandangan judith M. Green tentang identifikasi pendidikan multikultural.
6.    Empat pendekatan untuk mengintegrasikan meteri multikultural kedalam kurikulum menurut James A.banks.
B.     Tujuan
1.    Mahasiawa diharuskan dapat menjelaskan pendapat Horace Kallen tentang pendidikan multikultural
2.    Mahasiawa diharuskan dapat menyebutkan tiga macam kelompok yang terlibat dalam pembahasan pendidikan multikultural menurut James A. Banks
3.    Mahasiawa diharuskan dapat menjelaskan pandangan Bill Martin tentang multukultural
4.    Mahasiawa diharuskan dapat menjelaskan pandangan martin J.Back matustik tentang hubungan antara multikultural dengan Plato
5.    Mahasiawa diharuskan dapat menjelaskan pandangan judith M. Green tentang identifikasi pendidikan multikultural
6.    Mahasiawa diharuskan dapat menyebutkan empat pendekatan untuk mengintegrasikan meteri multikultural kedalam kurikulum menurut James A.banks.
C.    Pembahasan
1.      Pendidikan Multikultural

Berdasarkan kondisi masyarakat Indonesia yang multicultural, maka untuk membentuk  Negara Indonesia yang kokoh perlu mengembangkan corak pendidikan yang cocok untuk bangsa yang multicultural. Jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang multicultural ini adalah pendidikan multikultural.
Menurut Paul Gorski Pendidikan mutikultural merupakan pendekatan progresif untuk merubah pendidikan secara holistik dengan mengkritik dan memusatkan perhatian dan kelemahan, kegagalan, dan praktek diskriminatif didalam pendidikan akhir-akhir ini. Keadilan sosial, persamaan pendidikan, dan dedikasi melandasi pemberian kemudahan pengalaman pendidikan dalam mewujudkan semua potensinya, secara penuh dan mewujudkan manusia yang sadar dan aktif secara lokal, nasional, dan global.
Pendidikan multicultural dapat menjadi elemen yang kuat dalam kurikulum Indonesia untuk mengembangkan potensi dan ketrampilan hidup ( life skills). Masyarakat Indonesia terdiri dari masyarakat miltikultural. Jadi sangat relevan bagisekolah diindonesia untuk menerapkan pendidikan multicultural.

  1. Teori Pendidikan Multikultural
Para pakar memiliki visi yang berbeda dalam memandang multikultural. Para pakar memiliki tekanan yang beragam dalam memahami fenomena multikultural. Ada yang tetap mempertahankan adanya dominasi kelompok tertentu hingga yang benar-benar menekankan pada multikultural. Pada Bab ini kita akan mengenali berbagai teori Pendidikan Multikultural yang dikemukakan oleh para ahli. Pengenalan sudut pandang para pakar teori Pendidikan Multikultural ini akan sangat membantu kita lebih mengenali pelaksanaannya di lapangan.
a.    Horace Kallen

Jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-lain; budaya itu dapat disebut pluralisme budaya (cultural pluralism). Teori pluralisme budaya ini dikembangkan oleh Horace Kallen. Ia menggambarkan pluralisme budaya itu dengan definisi operasional sebagai menghargai berbagai tingkat perbedaaan, tetapi masih dalam batas-batas menjaga persatuan nasional. Kellen mencoba mengekspresikan bahwa masing-masing kelompok etnis dan budaya di Amerika Serikat itu penting dan masing-masing mengontribusi unik menambah variasi dan kekayaan budaya, misalnya bangsa Amerika Serikat. Teori Kellen mengakui bahwa budaya yang dominan harus juga diakui oleh masyarakatnya sendiri. Dalam konteks ini kellen tetap mengakui bahwa budaya Wasp di Amerika Serikat sebagai budaya yang dominan, sementara budaya-budaya yang lain dipandang menambah variasi dan kekayaan budaya Amerika.

b.     James A. Banks
Kalau Horace Kallen perintis teori multikultur, maka James A. Banks dikenal sebagai perintis PendidikanMultikultur. Jadi penekanan dan perhatiannya difokuskan pada pendidikannya. Banks yakin bahwa sebagian dari pendidikan lebih mengarah pada mengajari bagaimana berpikir daripada apa yang dipikirkan. Ia menjelaskan bahwa siswa harus diajar memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi pengetahuan (knowledge construction) dan interpretasi yang berbeda-beda. Siswa yang baik adalah siswa yang selalu mempelajari semua pengetahuan dan turut serta secara aktif dalam membicarakan konstruksi pengetahuan. Dia juga perlu disadarkan bahwa di dalam pengetahuan yang dia terima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang sangat ditentukan oleh kepentingan masing-masing. Bahkan interpretasi itu nampak bertentangan sesuai dengan sudut pandangnya. Siswa seharusnya diajari juga dalam menginterpretasikan sejarah masa lalu dan dalam pembentukan sejarah (interpretations of the history of the past and history in the making) sesuai dengan sudut pandang mereka sendiri. Mereka perlu diajari bahwa mereka sebenarnya memiliki interpretasi sendiri tentang peristiwa masa lalu yang mungkin penafsiran itu berbeda dan bertentangan dengan penafsiran orang lain. Misalnya, mengapa sampai terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825 – 1830. Salah satu sebab kemunculannya adalah pembangunan jalan yang melintasi makam di daerah Tegal rejo, Yogyakarta yang secara kultural sangat dihormati oleh masyarakat sekitar pada waktu itu. Dari sudut pandang Belanda tindakan Diponegoro itu dianggap sebagai pemberontakan dan sudut pandang penguasa waktu itu dianggap sebagai upaya perebutan kekuasaan dari seorang putera selir yang dalam kultur Jawa kedudukannya tidak setinggi putera permaisuri. Namun sudut pandang apa pun yang digunakan sebagai motif yang melatar belakanginya perang Diponegoro, namun sebagai sebuah bangsa dan komitmen kita sebagai putera bangsa, kita memandang perjuangan Pangeran Diponegoro itu sebagai perjuangan seorang putra daerah yang ingin memerdekakan diri dari penjajahan bangsa asing. Siswa harus belajar mengidentifikasi posisinya sendiri sebagai putera bangsa yang sedang dijajah, kepentingannya yang ingin memerdekakan diri, asumsi dan filsafat idealnya. Dengan demikian dia akan mengetahui bagaimana sejarah itu terjadi dan menjadikan hal yang terjadi itu sebagai sejarah. Singkatnya, mereka harus menjadi pemikir kritis (critical thinkers) dengan selalu menambah pengetahuan dan ketrampilan, disertai komitmen yang tinggi. Semuanya itu diperlukan untuk berpartisipasi dalam tindakan demokratis. Dengan landasan ini, mereka dapat membantu bangsa ini mengakhiri kesenjangan antara ideal dan realitas (Banks,1993).
Di dalam The Canon Debate, Knowledge Construction, and Multicultural Education, Banks mengidentifikasi tiga kelompok cendekiawan yang berbeda dalam menyoroti keberadaan kelompok – kelompok budaya di Amerika Serikat: Pertama adalah traditionalis Barat. Tradisionalis barat, seperti halnya dengan kelompok prulalisme budaya dari Horce Kellen, menyakini  bahwa budaya yang dominan dari peradaban barat yaitu kelompok white, Anglo saxon dan protestan. Kelompok ini beranggapan bahwa mereka berada diposisi terancam dan berbahaya, karena mengenyampingkan kelompok feminis, minoritas dan reformasi multikultural yang lain. Namun tidak seperti kelompok pluralisme budaya Kellen, tradisional barat msih sedikit memberi perhatian pada pengajaran keanekaragaman atau multikultur.
Kelompok kedua yaitu mereka yang menolak kebudayaan Barat secara berlebihan, yaitu kelompok Afrosentris. Kelompok ini beranggapan bahwa pengabaian kelompok lain itu memang benar terjadi dan kelompok ini juga berpendapat bahwa sejarah dan budaya orang Afrika lah yag seharusnya menjadi sentraldari kirukulum. Afrosentris juga menyakini bahwa sejarah dan budaya orang afrika menjadi sentral dan kurikulum untuk memotifasi siswa Afrika-Amerika dalam belajar.
Kelompok ketiga, Multikulturalis, yang percaya bahwa pendidikan seharusnya direformasi untuk lebih memberi perhatian pada pengalaman orang kulit berwarna dan wanita. Kelompok ini sekarang sedang berkembang dan sedang memperjuangkan posisi ditengah dominasi kelompok yang sudah mapan.

c.        Bill Martin

Dalam tulisannya yang berjudul Multiculturalism: Consumerist or Transformational?, Bill Martin menulis, bahwa keseluruhan isu tentang multikulturalisme memunculkan pertanyaan tentang “perbedaan” yang nampak sudah dilakukan berbagai teori filsafat atau teori sosial. Sebagai agenda sosial dan politik, jika multikulturalisme lebih dari sekedar tempat bernaung berbagai kelompok yang berbeda, maka harus benar-benar menjadi ‘pertemuan’ dari berbagai kelompok itu yang tujuannya untuk membawa pengaruh radikal bagi semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal (Martin, 1998: 128).
Seperti halnya Banks, Martin menentang tekanan dari afrosentri dan tradisionalos barat. Martin menyebut afrosentris dan tradisionalis barat itu sebagai “consumerist multiculturalism” bukan “konsumeris” tetapi “transformational, yang memerlukan kerangka kerja. Martin mengatakan bahwa disamping isu tentang kelas sosial, ras, etnis dan pandangan lain berbeda, diperlukan komunikasi tentang berbagai segi pandangan yang berbeda. Masyarakat harus memiliki visi kolektif tipe baru dari perubahan sosial menuju multikulturalisme yaitu visi yang muncul lewat transformasi. Martin memandang perlu adanya perubahan yang mendasar diantara kelompok-kelompok budaya itu sampai diketemukan adanya visi baru yang dimiliki dan dikembangkan bersama.
d.      Martin J. Beck Matustik

Martin J. Beck Matustik berpendapat bahwa perdebatan tentang masyarakat multikultural di masyarakat Barat berkaitan dengan norma/tatanan. Matustík mengatakan “Semua segi dalam pembicaraan budaya saat ini mengarah pada pemikiran kembali norma Barat (the western canon) yang mengakui bahwa dunia multikultural adalah benar-benar nyata adanya ” (Matustík, 1998). Dalam artikelnya, “Ludic, Corporate and Imperial Multiculturalism: Impostors of Democracy and Cartographers of the New World Order,” Matustik menulis, “perang budaya, politik dan ekonomi menyerang pada segi yang mana, bagaimana dan lewat siapa sejarah multikultural dijelaskan.”
Matustík mengatakan bahwa teori multikulturalisme meliputi berbagai hal yang semuanya mengarah kembali ke liberalisasi pendidikan dan politik Plato, filsuf Yunani. Sebuah karya Plato yang berjudul Republik, bukan hanya memberi norma politik dan akademis klasik bagi pemimpin dari negara ideal yang dia cita-citakan, namun juga menjadi petunjuk dalam pembahasan bersama tentang pendidikani bagi yang tertindas (Matustík, 1998). Ia yakin bahwa kita harus menciptakan pencerahan multikultural baru (a new multicultural enlightenment) yaitu “multikulturalisme lokal yang saling berkaitan, secara global sebagai lawan dari monokultur nasional” (Matustík, 1998).

e.        Judith M. Green

Green menunjukkan bahwa multikulturalisme bukan hanya unik di A.S. Negara lain pun harus mengakomodasi berbagai kelompok kecil dari budaya yang berbeda. Kelompok-kelompok ini biasanya bertoleransi terhadap keuntungan budaya dominan. Secara unik, Amerika memberi tempat perlindungan dan memungkinkan mereka mempengaruhi kebudayaan yang ada. Dengan team, kelompok memperoleh kekuatan dan kekuasaan, membawa perubahan seperti peningkatan upah dan keamanan kerja. Wanita dan minoritas (Hispanis, Afrika dan Amerika Asli) harus memperoleh kesempatan ekonomi yang lebih baik, partisipasi politis yang lebih efektif, representasi media yang lebih disukai, dan sebagainya. Namun akhir abad 20 telah membawa orang Amerika pada suatu tempat “memerangi kebuntuan yang memerlukan pemikiran kembaliyang baru dan lebih dalam tentang tujuan dan materi pendidikan dalam suatu masyarakat yang masih terus diharapkan dan dicita-citakan yang dibimbing oleh ide demokrasi” (Green, 1998). Bangsa ini selalu memandang pendidikan sebagai cara perubahan yang efektif, baik secara personal maupun sosial. Sehingga lewat pendidikan Amerika meraih kesuksesan terbesar dalam transformasi. Beberapa kelompok tidak bisa melihat bahwa kita sekarang adalah apa yang selalu ada. Yaitu, Amerika yang sejak kelahirannya, selalu memiliki masyarakat multikultural di mana berbagai budaya telah bersatu lewat perjuangan, interaksi, dan kerjasama (Green, 1998).

Mengingat bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang memiliki beragam kebudayaan sehingga paham akan multikultural memang pantas diterapkan di Indonesia.  Hal itu di awali dengan pendekatan multicultural terlebih dahulu. Pendekatan Multikultural sendiri berangkat dari suatu keadaan yang baru, yaitu keberadaan dua atau lebih kebudayaan yang berbeda yang hidup berdampingan (5) sebagaimana yang saya tangkap mengenai defenisi multicultural yaitu berangkat dari kata “multi” yang berarti beragam atau banyak dan “Cultural” adalah budaya. Sehingga pendekatan multicultural adalah suatu pengenalan akan hidup berdampingan dengan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Sehingga melalu pendekatan multicultural ini maka dapat terjadi culture opening saya maksud sebagai budaya terbuka atau adanya sifat menerima budaya lain melalui penghormatan. Walaupun pada pendekatan multicultural ini sudah pada tahap pengenalan budaya melalui bahasa namun di anggap belum mampu dalam menyelesaikan permasalahan seprti komunikasi antara budaya yang disinyalir berawal dari pola interaksi yang berbeda dan berinovasi dan Perbedaan mendasar dari invidu itu sendiri sedangkan kharakter dari setiap individu yang berbeda. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendekatan multicultural yang dianggap dapat terealisasi dan mewujudkan Negara Indonesia adalah Negara multicultural yaitu melalui pendidikan multicultural. Ada beberapa pendekatan pendidikan multicultural yaitu:
a.       Tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan pesekolahan ( schooling).
b.      Menghindari pandangan yang menyamakan budaya dalam kelompok etnik.
c.       Pendidikan multicultural tidak dapat disamakan secara logis artinya pengembangan kompetensi dalam suatu “ kebudayaa baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiativ dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antithesis terhadap tujuan pendidikan multicultural.
d.      Meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan.
e.       Meningkatkan kesadaran akan tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan baik formal maupun non formal. ( mahfud;2006;184)



D.    Bahan Diskusi
1.    Menurut Horace Kallen , jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-lain; budaya itu dapat disebut pluralisme budaya (cultural pluralism).  Bagaimana cara menghargai tingkat perbedaan dalam pluralisme budaya tersebut?
2.    Jelaskan bagaimana implementasi pendidikan multikultural menurut teori James A. Banks
3.    Menurut Anda, apakah teori pendidikan multikultural akan berkembang sesuai perkembangan jaman? Jelaskan alasanya!
4.    Dari semua teori yang telah dipaparkan, teori manakah yang paling sesuai dengan budaya Indonesia?

E.     Daftar Pustaka
Ayuningtyas, Tyagita Cahya. 2015. Teori Dan Pendekatan Pendidikan Multikultura. Diambil dari https://prezi.com/s9mlm4cmkmxt/teori-dan-pendekatan-pendidikan-multikultural.html pada Rabu 9 September 2015 pukul 17:13
Mayseri, Putri. 2012. Teori Pendidikan Multikultura. Diambil dari https://putrimayseri.wordpress.com pada Rabu 9 September pukul 16:54
Soesilo, Andri. 2014. Hakikat Pendidikan Multikultural. Diambil dari http://andrisoesilo.blogspot.com/2014/06/hakikat-pendidikan-multikultural-dan.html pada Rabu 9 September 2015 pukul 16.56
Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar