BAB III
TEORI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
A.
Teori Pendidikan
Multikultural
1.
Pendapat Horace
Kallen tentang pendidikan multikultural.
2.
Tiga macam kelompok
yang terlibat dalam pembahasan pendidikan multikultural menurut James A. Banks.
3.
Pandangan Bill Martin
tentang multukultural.
4.
Pandangan martin
J.Back matustik tentang hubungan antara multikultural dengan Plato.
5.
Pandangan judith M.
Green tentang identifikasi pendidikan multikultural.
6.
Empat pendekatan
untuk mengintegrasikan meteri multikultural kedalam kurikulum menurut James
A.banks.
B. Tujuan
1.
Mahasiawa diharuskan
dapat menjelaskan pendapat Horace Kallen tentang pendidikan multikultural
2.
Mahasiawa diharuskan
dapat menyebutkan tiga macam kelompok yang terlibat dalam pembahasan pendidikan
multikultural menurut James A. Banks
3.
Mahasiawa diharuskan
dapat menjelaskan pandangan Bill Martin tentang multukultural
4.
Mahasiawa diharuskan dapat
menjelaskan pandangan martin J.Back matustik tentang hubungan antara
multikultural dengan Plato
5.
Mahasiawa diharuskan
dapat menjelaskan pandangan judith M. Green tentang identifikasi pendidikan
multikultural
6.
Mahasiawa diharuskan
dapat menyebutkan empat pendekatan untuk mengintegrasikan meteri
multikultural kedalam kurikulum menurut James A.banks.
C. Pembahasan
1. Pendidikan Multikultural
Berdasarkan
kondisi masyarakat Indonesia yang multicultural, maka untuk membentuk Negara Indonesia yang kokoh perlu mengembangkan corak pendidikan
yang cocok untuk bangsa yang multicultural. Jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang
multicultural ini adalah pendidikan multikultural.
Menurut
Paul Gorski Pendidikan mutikultural merupakan pendekatan progresif untuk merubah
pendidikan secara holistik dengan mengkritik dan memusatkan perhatian dan
kelemahan, kegagalan, dan praktek diskriminatif didalam pendidikan akhir-akhir
ini. Keadilan sosial, persamaan pendidikan, dan dedikasi melandasi pemberian
kemudahan pengalaman pendidikan dalam mewujudkan semua potensinya, secara penuh
dan mewujudkan manusia yang sadar dan aktif secara lokal, nasional, dan global.
Pendidikan
multicultural dapat menjadi elemen yang kuat dalam kurikulum Indonesia untuk
mengembangkan potensi dan ketrampilan hidup ( life skills). Masyarakat
Indonesia terdiri dari masyarakat miltikultural. Jadi sangat relevan
bagisekolah diindonesia untuk menerapkan pendidikan multicultural.
- Teori Pendidikan Multikultural
Para pakar memiliki visi yang berbeda dalam memandang multikultural.
Para pakar memiliki tekanan yang beragam dalam memahami fenomena multikultural.
Ada yang tetap mempertahankan adanya dominasi kelompok tertentu hingga yang
benar-benar menekankan pada multikultural. Pada Bab ini kita akan mengenali
berbagai teori Pendidikan Multikultural yang dikemukakan oleh para ahli.
Pengenalan sudut pandang para pakar teori Pendidikan Multikultural ini akan
sangat membantu kita lebih mengenali pelaksanaannya di lapangan.
a.
Horace Kallen
Jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-lain;
budaya itu dapat disebut pluralisme budaya (cultural pluralism). Teori
pluralisme budaya ini dikembangkan oleh Horace Kallen. Ia menggambarkan
pluralisme budaya itu dengan definisi operasional sebagai menghargai berbagai
tingkat perbedaaan, tetapi masih dalam batas-batas menjaga persatuan nasional.
Kellen mencoba mengekspresikan bahwa masing-masing kelompok etnis dan budaya di
Amerika Serikat itu penting dan masing-masing mengontribusi unik menambah
variasi dan kekayaan budaya, misalnya bangsa Amerika Serikat. Teori Kellen
mengakui bahwa budaya yang dominan harus juga diakui oleh masyarakatnya
sendiri. Dalam konteks ini kellen tetap mengakui bahwa budaya Wasp di Amerika
Serikat sebagai budaya yang dominan, sementara budaya-budaya yang lain
dipandang menambah variasi dan kekayaan budaya Amerika.
b.
James A.
Banks
Kalau Horace Kallen
perintis teori multikultur, maka James A. Banks dikenal sebagai
perintis PendidikanMultikultur. Jadi penekanan dan perhatiannya difokuskan
pada pendidikannya. Banks yakin bahwa sebagian dari pendidikan lebih mengarah
pada mengajari bagaimana berpikir daripada apa yang dipikirkan. Ia
menjelaskan bahwa siswa harus diajar memahami semua jenis pengetahuan, aktif
mendiskusikan konstruksi pengetahuan (knowledge construction) dan interpretasi
yang berbeda-beda. Siswa yang baik adalah siswa yang selalu mempelajari semua
pengetahuan dan turut serta secara aktif dalam membicarakan konstruksi
pengetahuan. Dia juga perlu disadarkan bahwa di dalam pengetahuan yang dia
terima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang sangat ditentukan oleh
kepentingan masing-masing. Bahkan interpretasi itu nampak bertentangan sesuai
dengan sudut pandangnya. Siswa seharusnya diajari juga dalam
menginterpretasikan sejarah masa lalu dan dalam pembentukan sejarah
(interpretations of the history of the past and history in the making) sesuai
dengan sudut pandang mereka sendiri. Mereka perlu diajari bahwa mereka
sebenarnya memiliki interpretasi sendiri tentang peristiwa masa lalu yang
mungkin penafsiran itu berbeda dan bertentangan dengan penafsiran orang lain.
Misalnya, mengapa sampai terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825 – 1830.
Salah satu sebab kemunculannya adalah pembangunan jalan yang melintasi makam di
daerah Tegal rejo, Yogyakarta yang secara kultural sangat dihormati oleh
masyarakat sekitar pada waktu itu. Dari sudut pandang Belanda tindakan
Diponegoro itu dianggap sebagai pemberontakan dan sudut pandang penguasa waktu
itu dianggap sebagai upaya perebutan kekuasaan dari seorang putera selir yang
dalam kultur Jawa kedudukannya tidak setinggi putera permaisuri. Namun sudut
pandang apa pun yang digunakan sebagai motif yang melatar belakanginya perang
Diponegoro, namun sebagai sebuah bangsa dan komitmen kita sebagai putera
bangsa, kita memandang perjuangan Pangeran Diponegoro itu sebagai perjuangan
seorang putra daerah yang ingin memerdekakan diri dari penjajahan bangsa asing.
Siswa harus belajar mengidentifikasi posisinya sendiri sebagai putera bangsa
yang sedang dijajah, kepentingannya yang ingin memerdekakan diri, asumsi dan
filsafat idealnya. Dengan demikian dia akan mengetahui bagaimana sejarah itu
terjadi dan menjadikan hal yang terjadi itu sebagai sejarah. Singkatnya, mereka
harus menjadi pemikir kritis (critical thinkers) dengan selalu menambah
pengetahuan dan ketrampilan, disertai komitmen yang tinggi. Semuanya itu
diperlukan untuk berpartisipasi dalam tindakan demokratis. Dengan landasan ini,
mereka dapat membantu bangsa ini mengakhiri kesenjangan antara ideal dan
realitas (Banks,1993).
Di
dalam The Canon Debate, Knowledge Construction, and Multicultural
Education, Banks mengidentifikasi tiga kelompok cendekiawan yang berbeda
dalam menyoroti keberadaan kelompok – kelompok budaya di Amerika Serikat: Pertama adalah
traditionalis Barat. Tradisionalis barat, seperti halnya dengan kelompok
prulalisme budaya dari Horce Kellen, menyakini bahwa budaya yang dominan
dari peradaban barat yaitu kelompok white, Anglo saxon dan protestan. Kelompok
ini beranggapan bahwa mereka berada diposisi terancam dan berbahaya, karena
mengenyampingkan kelompok feminis, minoritas dan reformasi multikultural yang
lain. Namun tidak seperti kelompok pluralisme budaya Kellen, tradisional barat
msih sedikit memberi perhatian pada pengajaran keanekaragaman atau multikultur.
Kelompok
kedua yaitu mereka yang menolak kebudayaan Barat secara berlebihan, yaitu
kelompok Afrosentris. Kelompok ini beranggapan bahwa pengabaian kelompok
lain itu memang benar terjadi dan kelompok ini juga berpendapat bahwa sejarah
dan budaya orang Afrika lah yag seharusnya menjadi sentraldari kirukulum.
Afrosentris juga menyakini bahwa sejarah dan budaya orang afrika menjadi
sentral dan kurikulum untuk memotifasi siswa Afrika-Amerika dalam belajar.
Kelompok
ketiga, Multikulturalis, yang percaya bahwa pendidikan seharusnya direformasi
untuk lebih memberi perhatian pada pengalaman orang kulit berwarna dan wanita.
Kelompok ini sekarang sedang berkembang dan sedang memperjuangkan posisi
ditengah dominasi kelompok yang sudah mapan.
c.
Bill
Martin
Dalam tulisannya yang berjudul Multiculturalism: Consumerist or
Transformational?, Bill Martin menulis, bahwa keseluruhan isu tentang
multikulturalisme memunculkan pertanyaan tentang “perbedaan” yang nampak sudah
dilakukan berbagai teori filsafat atau teori sosial. Sebagai agenda sosial dan
politik, jika multikulturalisme lebih dari sekedar tempat bernaung berbagai
kelompok yang berbeda, maka harus benar-benar menjadi ‘pertemuan’ dari berbagai
kelompok itu yang tujuannya untuk membawa pengaruh radikal bagi semua umat
manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal (Martin, 1998: 128).
Seperti
halnya Banks, Martin menentang tekanan dari afrosentri dan tradisionalos barat.
Martin menyebut afrosentris dan tradisionalis barat itu sebagai “consumerist
multiculturalism” bukan “konsumeris” tetapi “transformational, yang memerlukan
kerangka kerja. Martin mengatakan bahwa disamping isu tentang kelas sosial,
ras, etnis dan pandangan lain berbeda, diperlukan komunikasi tentang berbagai
segi pandangan yang berbeda. Masyarakat harus memiliki visi kolektif tipe baru
dari perubahan sosial menuju multikulturalisme yaitu visi yang muncul lewat
transformasi. Martin memandang perlu adanya perubahan yang mendasar diantara
kelompok-kelompok budaya itu sampai diketemukan adanya visi baru yang dimiliki
dan dikembangkan bersama.
d.
Martin J. Beck Matustik
Martin J. Beck Matustik berpendapat bahwa perdebatan tentang masyarakat
multikultural di masyarakat Barat berkaitan dengan norma/tatanan. Matustík
mengatakan “Semua segi dalam pembicaraan budaya saat ini mengarah pada
pemikiran kembali norma Barat (the western canon) yang mengakui bahwa dunia
multikultural adalah benar-benar nyata adanya ” (Matustík, 1998). Dalam
artikelnya, “Ludic, Corporate and Imperial Multiculturalism: Impostors of
Democracy and Cartographers of the New World Order,” Matustik menulis,
“perang budaya, politik dan ekonomi menyerang pada segi yang mana, bagaimana
dan lewat siapa sejarah multikultural dijelaskan.”
Matustík mengatakan bahwa teori multikulturalisme meliputi berbagai hal
yang semuanya mengarah kembali ke liberalisasi pendidikan dan politik Plato,
filsuf Yunani. Sebuah karya Plato yang berjudul Republik, bukan hanya
memberi norma politik dan akademis klasik bagi pemimpin dari negara ideal yang
dia cita-citakan, namun juga menjadi petunjuk dalam pembahasan bersama
tentang pendidikani bagi yang tertindas (Matustík, 1998). Ia yakin
bahwa kita harus menciptakan pencerahan multikultural baru (a new multicultural
enlightenment) yaitu “multikulturalisme lokal yang saling berkaitan, secara
global sebagai lawan dari monokultur nasional” (Matustík, 1998).
e.
Judith M.
Green
Green menunjukkan bahwa multikulturalisme bukan hanya unik di A.S. Negara
lain pun harus mengakomodasi berbagai kelompok kecil dari budaya yang berbeda.
Kelompok-kelompok ini biasanya bertoleransi terhadap keuntungan budaya dominan.
Secara unik, Amerika memberi tempat perlindungan dan memungkinkan mereka
mempengaruhi kebudayaan yang ada. Dengan team, kelompok memperoleh kekuatan dan
kekuasaan, membawa perubahan seperti peningkatan upah dan keamanan kerja.
Wanita dan minoritas (Hispanis, Afrika dan Amerika Asli) harus memperoleh
kesempatan ekonomi yang lebih baik, partisipasi politis yang lebih efektif,
representasi media yang lebih disukai, dan sebagainya. Namun akhir abad 20
telah membawa orang Amerika pada suatu tempat “memerangi kebuntuan yang
memerlukan pemikiran kembaliyang baru dan lebih dalam tentang tujuan dan
materi pendidikan dalam suatu masyarakat yang masih terus diharapkan dan
dicita-citakan yang dibimbing oleh ide demokrasi” (Green, 1998). Bangsa ini
selalu memandang pendidikan sebagai cara perubahan yang efektif, baik secara
personal maupun sosial. Sehingga lewat pendidikan Amerika meraih kesuksesan
terbesar dalam transformasi. Beberapa kelompok tidak bisa melihat
bahwa kita sekarang adalah apa yang selalu ada. Yaitu, Amerika yang sejak
kelahirannya, selalu memiliki masyarakat multikultural di mana berbagai budaya
telah bersatu lewat perjuangan, interaksi, dan kerjasama (Green, 1998).
Mengingat bahwa Negara
Indonesia adalah Negara yang memiliki beragam kebudayaan sehingga paham akan
multikultural memang pantas diterapkan di Indonesia. Hal itu di awali
dengan pendekatan multicultural terlebih dahulu. Pendekatan Multikultural
sendiri berangkat dari suatu keadaan yang baru, yaitu keberadaan dua atau lebih
kebudayaan yang berbeda yang hidup berdampingan (5) sebagaimana yang saya
tangkap mengenai defenisi multicultural yaitu berangkat dari kata “multi” yang
berarti beragam atau banyak dan “Cultural” adalah budaya. Sehingga pendekatan
multicultural adalah suatu pengenalan akan hidup berdampingan dengan
kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Sehingga melalu pendekatan multicultural
ini maka dapat terjadi culture opening saya maksud sebagai budaya terbuka atau
adanya sifat menerima budaya lain melalui penghormatan. Walaupun pada pendekatan
multicultural ini sudah pada tahap pengenalan budaya melalui bahasa namun di
anggap belum mampu dalam menyelesaikan permasalahan seprti komunikasi antara
budaya yang disinyalir berawal dari pola interaksi yang berbeda dan berinovasi
dan Perbedaan mendasar dari invidu itu sendiri sedangkan kharakter dari setiap
individu yang berbeda. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendekatan
multicultural yang dianggap dapat terealisasi dan mewujudkan Negara Indonesia
adalah Negara multicultural yaitu melalui pendidikan multicultural. Ada
beberapa pendekatan pendidikan multicultural yaitu:
a.
Tidak lagi menyamakan
pandangan pendidikan (education) dengan pesekolahan ( schooling).
b.
Menghindari pandangan
yang menyamakan budaya dalam kelompok etnik.
c.
Pendidikan
multicultural tidak dapat disamakan secara logis artinya pengembangan
kompetensi dalam suatu “ kebudayaa baru” biasanya membutuhkan interaksi
inisiativ dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka dapat dilihat
lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara
etnik merupakan antithesis terhadap tujuan pendidikan multicultural.
d.
Meningkatkan kompetensi
dalam beberapa kebudayaan.
e.
Meningkatkan kesadaran
akan tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan baik formal maupun non
formal. ( mahfud;2006;184)
D. Bahan Diskusi
1.
Menurut Horace Kallen , jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi,
nilai-nilai dan lain-lain; budaya itu dapat disebut pluralisme budaya (cultural
pluralism). Bagaimana cara
menghargai tingkat perbedaan dalam pluralisme budaya tersebut?
2.
Jelaskan bagaimana implementasi pendidikan
multikultural menurut teori James A. Banks
3.
Menurut Anda, apakah teori
pendidikan multikultural akan berkembang sesuai perkembangan jaman? Jelaskan
alasanya!
4.
Dari semua teori yang telah dipaparkan, teori
manakah yang paling sesuai dengan budaya Indonesia?
E. Daftar Pustaka
Ayuningtyas,
Tyagita Cahya. 2015. Teori Dan Pendekatan
Pendidikan Multikultura. Diambil dari https://prezi.com/s9mlm4cmkmxt/teori-dan-pendekatan-pendidikan-multikultural.html pada Rabu 9 September 2015 pukul 17:13
Mayseri,
Putri. 2012. Teori Pendidikan Multikultura.
Diambil dari https://putrimayseri.wordpress.com pada Rabu 9 September pukul 16:54
Soesilo,
Andri. 2014. Hakikat Pendidikan
Multikultural. Diambil dari http://andrisoesilo.blogspot.com/2014/06/hakikat-pendidikan-multikultural-dan.html pada Rabu 9 September 2015 pukul 16.56
Sutarno.
2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta. Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar