BAB XI
PERAN
SEKOLAH DASAR SEBAGAI SISTEM SOSIAL
A.
SUB POKOK MATERI
1.
Peranan Sekolah Dasar Sebagai Sistem Sosial
2.
Multikultural sebagai landasan Pembelajaran
3.
Perencanaan Pembelajaran
Pendidikan Multikultural
4.
Pengembangan Pendekatan Multikultural Sebagai ide
5.
Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Budaya Menuju
Transformasi Kurikulum
6.
Strategi Pembelajaran dan Metode untuk Humanisasi Pendidikan
Multikultural
B.
TUJUAN
1.
Mahasiswa dapat memahami peranan sekolah dasar sebagai
system social
2.
Mahasiswa dapat memahami multikultural sebagai landasan
pembelajaran
3.
Mahasiswa dapat memahami perencanaan pembelajaran pendidikan
multikultural
4.
Mahasiswa dapat memahami pengembangan pendekatan
multikultural ebagai ide
5.
Mahasiswa dapat memahani langkah-langkah pembelajaran
berbasis budaya menuju transformasi kurikulum
6.
Mahasiswa dapat memahami strategi pembelajaran dan metode
untuk humanisasi pendidikan multikultural
C.
PEMBAHASAN(ISI)
1.
Peranan Sekolah Dasar Sebagai Sistem
Sosial
Sistem sosial adalah proses
bertingkah laku (dalam masyarakat) yang saling memengaruhi dan terdapat kegiatan
berulang tetap secara teratur. Faktor penting yang memiliki kekuatan
mengintegrasikan system sosial adalah consensus antaranggota masyarakat tentang
nilai-nilai tertentu. Reaksi dari suatu system social terhadap
perubahan-perubahan yangdatang dari luar (extra
system echange) tidak selalu bersifat adjustive. Sebuah system social dalam
kurun waktu tertentu dapat juga mengalami konflik-konflik social yang bersifat visious circle.
Sekolah sebagai system social
pada hakikatnya merupakan susunan dari peran dan status yang berbeda-beda,
dimana masing-masing bagian tersebut terkonsentrasi pada satu kekuatan legal
structural yang menggerakkan daya orientasi demi mencapai tujuan tertentu.
Tentu saja sistem social tersebut bermuara pada status sekolah sebagai lembaga
formal. Sosialisasi dan enkulturasi melalui pendidikan dengan belajar adat
(kebiasaan sosial).
Lingkungan sekolah merupakan suatu sistem yang
terdiri dari sejumlah variabel dan faktor utama yang dapat diidentifikasi
sebagai budaya sekolah, kebijakan dan politik sekolah, kurikulum formal, dan
bidang studi. Variabel dan faktor sekolah sebagai sistem sosial itu antara lain
:
1. Kebijakan dan politik sekolah
Kebijakan dan
politik sekolah sangat menentukan ke arah mana anak didik akan dikembangkan
potensinya. Kebijakan dan politik sekolah yang bernuansa khas dan unggul dapat
dikembangkan oleh sekolah itu secara terencana dan berkelanjutan.
2. Budaya sekolah dan kurikulum yang
tersembunyi (hidden curriculum)
Budaya yang
berlangsung di sekolah dan kurikulum yang tersembunyi sangat menentukan
kepribadian yang dikembangkan pada lingkungan sekolah. Misalnya di Sekolah
Dasar tertentu dibudayakan untuk setiap hari guru atau kepala sekolah menyambut
kedatangan siswa di depan pagar secara bergiliran untuk bersalaman untuk
mengajarkan nilai keakraban, kekeluargaan, rasa saling hormat dan kasih
sayang.
3. Gaya belajar dan sekolah
Gaya belajar
siswa hendaknya diperhitungkan oleh sekolah dalam pembuatan kebijakan dan dalam
menciptakan gaya (style) sekolah itu
dalam menciptkan kondisi belajar yang nyaman dan akrab dengan kondisi siswa.
Tentu tidak sama gaya sekolah perkotaan dengan segala fasilitasnya dengan gaya
sekolah pedesaan.
4. Bahasa dan dialek sekolah
Bahasa dan
dialek sekolah di sini berkaitan dengan bahasa dan dialek yang digunakan di
sekolah di mana sekolah itu berada. SD di Jawa, khususnya Jawa Tengah atau
sebagian Jawa Timur yang banyak menggunakan bahasa dan dialek Jawa dapat
membuat program mingguan misalnya. Kegiatan ini untuk menumbuh sikap hormat dan
kesantunan pada anak didik lewat penggunaan bahasa dan dialek yang dibudayakan
di sekolah.
5. Partisipasi dan input
masyarakat
Bila kesadaran
masyarakat akan pendidikan tinggi dan komite sekolah dipimpin oleh orang yang
memiliki wawasan pendidikan yang baik maka sekolah itu akan banyak mendapat
bantuan dari masyarakat, baik dana maupun pemantauan ke arah pengembangan
sekolah ke depan. Untuk itu Komite Sekolah perlu dipimpin oleh orang yang bukan
saja dikenal, disegani dan berpengaruh di masyarakat, tetapi juga orang yang
memiliki komitemen yang tinggi terhadap kemajuan pendidikan
putra-putrinya.
6. Program penyuluhan/konseling
Program
bimbingan dan penyuluhan/konseling akan berperanan dalam membantu mengatasi
kesulitan belajar pada anak, baik itu anak yang mengalami kelambatan belajar
maupun anak yang memiliki bakat khusus. Kemungkinan ada anak yang lemah dalam
mata pelajaran tertentu ternyata dia memiliki bakat yang besar dalam menari dan
menyanyi yang membutuhkan penyaluran bakat yang memadai.
7. Prosedur asesmen dan pengujian
Asesmen dan
pengujian tidak identik dengan duduk di kelas dan mengerjakan soal dalam bentuk
paper-pencil test. Asesmen bersifat holistik yang menggambarkan kemampuan
aktual keseharian anak. Anak akan dinilai secara beda dalam arti dikurangi
skornya bila dia terlibat dalam tindakan yang kurang bermoral atau sebaliknya,
siswa yang menunjukkan penampilan dan sikap yang baik akan mendapat skor
tambahan.
8. Materi pembelajaran
Materi
pelajaran pada semua bidang studi atau bidang yang paling cocok dapat
memasukkan materi budaya itu dalam pembelajaran. Perlu ada bidang studi
Pendidikan Multikultural tersendiri di sekolah dasar untuk lebih mengenalkan
budaya secara lebih terencana, terorganisir dan matang, bukan sekedar
dititipkan pada materi yang ada pada bidang studi yang lain.
9. Gaya dan strategi mengajar
Tentunya guru
yang sedang mengajar anak didiknya tentunya sarat dengan nilai budaya. Dia
memiliki ideologi dan nilai-nilai budaya yang diperoleh sepanjang hidupnya. Hal
itu tentunya sangat mewarnai gaya dan strategi mengajar yang dia gunakan di
sekolah.
10. Sikap, persepsi, kepercayaan dan
perilaku staf sekolah
Seluruh
staf yang mendukung pembelajaran akan sangat membantu menciptakan kondisi
pembelajaran yang diinginkan dan begitu juga sebaliknya. Staf sekolah bukan
sekedar berurusan dengan benda mati seperti kertas, penggaris, alat tulis atau
tanaman yang ada di sekolah, namun bergaul dengan seluruh komponen sekolah.
Sikap sinis dan tidak peduli dari staf sekolah akan sangat mempengaruhi kinerja
sekolah. Untuk itu perlulah memilih orang yang benar-benar cocok untuk profesi
itu.
2.
Multikultural Sebagai Landasan
Pembelajaran
Kedudukan kebudayaan dalam suatu
proses pembelajaran sangat penting tetapi dalam realita proses pengembangan
sering hanya ditentukan oleh pandangan pengembang tentang perkembangan ilmu dan
teknologi. Secara intrinsik filosofi,
visi, dan tujuan pendidikan para
pengembang pembelajaran sangat dipengaruhi oleh akar budaya pengembang
yang melandasi pandangan hidupnya. Longsreet dan Shane (1993:162) menyatakan
bahwa kita umumnya tidak menyadari berbagai kualitas yang dibentuk oleh budaya
yang menjadi ciri perilaku kita.
Landasan lain yang diperlukan dalam
pengembangan pembelajaran adalah teori
belajar. Dalam buku yang berjudul sociocultural
origins of achievement, Maehr (1974) mengatakan bahwa keterkaitan antara
kebudayaan dan bahasa, persepsi, kognisi, keinginan berprestasi, motivasi
berprestasi merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap belajar
siswa.
Webb (1990) dan Burnett (1994) menunjukkan
pentingnya pertimbangan budaya dalam meningkatkan proses belajar siswa. Delpit
(Darling-Hammond, 1996:12) mengatakan bahwa kita semua menginterpretasikan
perilaku, informasi, dan situasi melalui lensa budaya kita sendiri, yang
tersirat di dalam cara pandang kita. Hal senada dikemukakan pula oleh
Wloodkowski dan Ginsberg (1995) yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah dasar
dari motivasi intrinsik dan mengembangkan model belajar yang komprehensif dalam
arti pengajaran yang responsif terhadap kultural. Model ini merupakan pedagogi
lintas disiplin dan lintas budaya.
Pemberlakuan Undang-Undang nomor 22
tahun 1999 tentang otonomi daerah tidak
otomatis memberlakukan pendekatan multikultural dalam pengembangan pembelajaran
di Indonesia. Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang menggunakan
pendekatan multikultural haruslah dikembangkan dengan kesadaran dan pemahaman
yang mendalam tentang pendekatan multikultural. Andersen dan Cusher (1994:320)
mengatakan bahwa multikultural adalah pendidikan mengenai keragaman kebudayaan.
Posisi kebudayaan menjadi sesuatu yang
dipelajari; jadi berstatus sebagai obyek studi. Dengan perkataan lain,
keragaman kebudayaan menjadi materi pelajaran yang harus diperhatikan para pengembang pembelajaran.
3.
Perencanaan Pembelajaran Pendidikan
Multikultural
Untuk konteks otonomi, pengembangan ide dan pelaksanaan
pembelajaran dari pusat lebih banyak berisikan prinsip dan petunjuk teknis
sedangkan kewenangan dalam pengembangan yang lebih operasional dan rinci
diberikan kepada daerah. Pada konteks sentralisasi, pengembangan perencanaan
dan pelaksanaan pembelajaran sebagai ide dan pelaksanaan pembelajaran memang
tetap ada pada pusat tetapi harus tetap memberikan ruang yang besar bagi daerah
untuk memasukkan karakteristik budayanya.
Pengembangan perencanaan dan
pelaksanaan sebagai proses terjadi pada unit pendidikan dalam hal ini adalah
sekolah. Pengembangan ini haruslah didahului oleh sosialisasi agar para pengembang
(guru) dapat mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, proses
belajar di kelas, dan evaluasi sesuai dengan prinsip pendekatan multikultural.
Diperlukan adanya tim sosialisasi yang sepenuhnya faham dengan karakteristik
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran multikultural. Pada tahap ini, target
utama adalah para guru faham dan berkeinginan untuk mengembangkan RPP
multikultural dalam kegiatan belajar yang menjadi tanggung jawabnya.
4.
Pengembangan
Pendekatan Multikultural Sebagai Ide
Pendekatan multikultural bukan saja mampu menjadi media
pengembangan budaya lokal tetapi juga merupakan media pengembang budaya
nasional, maupun budaya universal. Kebudayaan lokal menjadi dasar dalam
mengembangkan kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional itu menjadi landasan
dalam memahami budaya universal. Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan dalam
dimensi ide harus jelas mengungkapkan hal ini dan kemudian harus tercermin
dalam pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
a)
Pengembangan Pendekatan Multikultural Sebagai Gerakan
Pengembangan pendekatan
multikultural sebagai gerakan menyangkut pengembangan pembelajaran berbasis
budaya. Seluruh komponen sekolah harus berlandaskan budaya. Pembelajaran
seperti tujuan, konten, pengalaman belajar, dan evaluasi dilakukan dengan
berbasiskan budaya. Para pengembang harus dapat membuka diri untuk menyadari
bahwa tidak semua kualitas manusia dapat diukur berdasarkan kriteria tertentu.
Ada tujuan- tujuan yang dapat diukur dan dikuasai dalam satu atau dua pengalaman
belajar, tetapi ada juga tujuan yang baru tercapai dalam waktu belajar yang
panjang.
Masyarakat sebagai sumber belajar
harus dapat dimanfaatkan sebagai sumber konten perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran. Oleh karena itu, nilai, moral, kebiasaan, adat/tradisi, dan cultural traits tertentu
harus dapat diakomodasi sebagai konten
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Konten pembelajaran haruslah tidak
bersifat formal semata tetapi society and cultural-based, dan terbuka pada
masalah yang hidup dalam masyarakat. Konten pembelajaran haruslah menyebabkan
siswa merasa bahwa sekolah bukanlah institusi yang lepas dengan masyarakat,
tetapi sekolah adalah suatu lembaga sosial dan lembaga budaya yang hidup dan
berkembang di masyarakat.
b)
Pengembangan Perencanaan dan pelaksanaan Pembelajaran
Sebagai Proses
Pengembangan perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran sebagai proses sangat ditentukan oleh guru berdasarkan
kondisi budaya siswa. Pendidikan Multikultural sebagai proses harus sesuai
Pendidikan Multikultural dengan sebagai ide. Pengetahuan, pemahaman, dan sikap,
serta kemauan guru terhadap Pendidikan Multikultural akan sangat menentukan
keberhasilan pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan sebagai proses.
Ada empat hal yang harus
diperhatikan guru dalam mengembangkan
Pendidikan Multikultural sebagai proses, yaitu:
o Posisi siswa sebagai subjek dalam
belajar,
o Cara belajar siswa yang ditentukan
oleh latar belakang budayanya,
o Lingkungan budaya mayoritas
masyarakat dan pribadi siswa adalah entry
behavior kultural,
o Lingkungan budaya siswa sebagai
sumber belajar.
5.
Langkah-langkah Pembelajaran
Berbasis Budaya Menuju Transformasi Kurikulum
Tahap
transformasi kurikulum berikut diadaptasi dari beberapa model yang ada, termasuk
oleh Banks (1993) dan McIntosh (2000), dan Paul C. Gorski.
1)
Tahap 1. Status Quo atau Kurikulum Dominan (curriculum of
the mainstream)
Sleeter dan Grant (1999: 37) melihat tahap ini bertujuan
mengasimilasi siswa yang terabaikan. Kurikulum dan pembelajaran berfokus pada
"strategi mengajar yang memperbaiki kekurangan atau membangun jembatan
antara siswa dan sekolah ". Menurut Gorski, kelompok status quo di Amerika
adalah kulit putih, pria, kelas menengah atas, dan Kristen Protestan. Tahap ini
berbahaya baik bagi siswa yang mengidentifikasi dengan budaya dominan maupun
individu dari kelompok non dominan.
2)
Tahap 2. Hari Libur dan Pahlawan (Makanan, Festival, &
Kesenangan)
Pada tahap ini ada kegiatan "merayakan" perbedaan
dengan menyatukan informasi atau sumber tentang pagelaran tentang “aneka budaya”
yang berfokus pada kostum, makanan, musik, dan item budaya yang dapat diraba
lainnya (other tangible cultural items).
Kekuatan dari tahap ini adalah bahwa pengajar mencoba mendiversifikasi
kurikulum dengan memberi materi dan pengetahuan di luar budaya dominan.
Kalau di Amerika pada tahap ini, Pendidikan Multikultural
dipraktekkan sebagai pekan raya makanan internasional (an international food fair) atau peringatan representatif tertentu
dari suatu kelompok. Bentuknya bisa berupa kegiatan festival yang bernuansakan
kesenangan. Kalau di AS siswa memakai hiasan kepala atau tomahawks untuk mempelajari budaya Amerika Asli (Native American culture), kalau di
Indonesia siswa memakai kostum suku Dayak, Papua atau Jawa. Guru ikut terlibat
di dalam bazar tersebut. Di dalam festival itu ditayangkan poster wanita
terkenal atau gambar orang dari kelompok multikultural.
3)
Tahap 3. Integrasi
Pada tahap Integrasi, guru melampaui kepahlawanan dan hari
libur dengan menambahkan materi dan pengetahuan substansial tentang kelompok
bukan dominan ke dalam kurikulum. Pengajar dapat menambahkan pada koleksi buku
yang ditulis oleh penulis dari kelompok lain. Ia dapat menambahkan suatu unit
yang mencakup, misalnya, peranan wanita pada Perang Dunia I. Guru musik dapat
menambahkan tarian Cakalele dari Maluku Utara. Pada level sekolah, sejarah kota
tertentu dapat ditambahkan pada keseluruhan kurikulum. Kekuatan tahap integrasi
adalah melampaui peringatan khusus dengan memberi isu dan konsep nyata dan yang
lebih meletakkan materi baru ke dalam kurikulum.
4)
Tahap 4. Belajar dan Mengajar Antarbudaya (Kamus
Budaya)
Guru mempelajari tradisi dan perilaku budaya asal siswanya
dalam upaya untuk lebih memahami bagaimana guru itu harus memperlakukan siswa
itu. Di Barat, khususnya Amerika Serikat, guru memiliki buku pegangan yang
mendeskripsikan bagaimana mereka seharusnya berhubungan dengan siswa Afrika-
Amerika, siswa Latin, siswa Asia Amerika, siswa Amerika Asli, dan kelompok lain
berdasarkan interpretasi terhadap tradisi dan gaya komunikasi dari kelompok
tertentu itu. Di Indonesia, khususnya di Jawa guru perlu lebih mengenal budaya
Jawa secara utuh budaya Jawa walaupun dia berasal dari luar Jawa.
5)
Tahap 5. Reformasi Struktural
Materi, perspektif, dan suara baru diserukan dengan kerangka
kerja pengetahuan yang mutakhir untuk memberi tahap pemahaman baru dari
kurikulum yang lebih lengkap dan akurat. Guru mendedikasikan dirinya untuk
memperluas dasar pengetahuannya secara berkelanjutan melalui eksplorasi
berbagai perspektif, dan berbagi pengetahuan dengan siswanya. Misalnya,
"Sejarah Amerika" mencakup sejarah orang Afrika-Amerika, Sejarah
Wanita, Sejarah orang Asia Amerika, Sejarah orang Amerika Latin, dan semua
bidang pengetahuan yang berbeda.
6)
Tahap 6. Hubungan Manusia (Mengapa kita tidak semuanya ikut
serta)
Anggota masyarakat sekolah didorong untuk memperingati
perbedaan dengan membuat hubungan lintas identitas kelompok yang berbeda. Guru
menggambarkan pengalaman pribadi siswa sehingga siswa dapat belajar dari
masing-masing yang lain. Melalui hubungan antar pribadi, itu siswa dapat
mengenal budaya siswa yang lain. Perbedaan pengalaman dan budaya siswa yang
berbeda- beda itu dilihat sebagai aset yang memperkaya pengalaman kelas.
7)
Tahap 7. Pendidikan Multikultural Selektif (Pendidikan
Multikultural secara temporer)
Guru dan staf memulai program temporer dan satu waktu
tertentu dengan mengenal adanya keketidak samaan dalam berbagai aspek
pendidikan. Mereka dipanggil bersama-sama dalam suatu pertemuan untuk
mendiskusikan konflik rasial atau mendatangkan seorang konsultan untuk membantu
guru merancang perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang ditujukan untuk
berbagai kelompok yang berbeda. Mereka mungkin menciptakan suatu program untuk
melibatkan siswa wanita dalam mencapai prestasi matematik dan sains secara
optimal.
8)
Tahap 8. Pendidikan Multikultural Transformatif (Pendidikan
persamaan dan Keadilan Sosial)
Semua praktek pendidikan dimulai
dengan penentuan yang sama pada semua aspek sekolah dan persekolahan dan
menjamin bahwa semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menggapai
potensi sepenuhnya sebagai pelajar. Semua praktek pendidikan yang menguntungkan
suatu kelompok yang merugikan kelompok lain diubah untuk menjamin persamaan.
6. Strategi Pembelajaran dan Metode untuk Humanisasi Pendidikan
Multikultural
Pilihan strategi yang digunakan
dalam mengembangkan pembelajaraan berbasis multikultural, antara lain: strategi
kegiatan belajar bersama-sama (Cooperative
Learning), yang dipadukan dengan strategi pencapaian konsep (Concept Attainment) dan strategi
analisis nilai (Value Analysis); strategi analisis sosial (Social Investigation). Beberapa Pilhan strategi ini dilaksanakan
secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran
berbasis multikultural.
1. Strategi Pencapaian Konsep
Digunakan untuk memfasilitasi siswa dalam melakukan kegiatan
eksplorasi budaya lokal untuk menemukan konsep budaya apa yang dianggap menarik
bagi dirinya dari budaya daerah masing-masing, dan selanjutnya menggali
nilai-nilai yang terkandung dalam budaya daerah asal tersebut.
2. Strategi cooperative learning
Digunakan untuk menandai adanya perkembangan kemampuan siswa
dalam belajar bersama-sama mensosialisasikan konsep dan nilai budaya lokal dari
daerahnya dalam komunitas belajar bersama teman. Dalam tataran belajar dengan
pendekatan multikultural, penggunaan strategi cooperative learning, diharapkan mampu meningkatkan kadar
partisipasi siswa dalam melakukan rekomendasi nilai-nilai lokal serta membangun
cara pandang kebangsaan, meningkatkan kualitas dan efektivitas proses belajar
siswa, suasana belajar yang kondusif dalam pembelajaran.
3. Strategi analisis sosial
Difokuskan untuk melatih kemampuan
siswa berpikir secara induktif, dari setting ekspresi dan komitmen nilai-nilai
budaya lokal (cara pandang lokal) menuju kerangka dan bangunan tata pikir atau
cara pandang yang lebih luas dalam lingkup nasional (melalui cara pandang
kebangsaan).
4. Strategi analisis nilai
Dari kemampuan ini, siswa memiliki keterampilan mengembangkan
kecakapan hidup dalam menghormati budaya lain, toleransi terhadap perbedaan,
akomodatif, terbuka dan jujur dalam berinteraksi dengan teman (orang lain) yang
berbeda suku, agama etnis dan budayanya, memiliki empati yang tinggi terhadap
perbedaan budaya lain, dan mampu mengelola konflik dengan tanpa kekerasan (conflict non violent).
Bertolak dari keempat strategi pembelajaran di atas, pola
pembelajaran berbasis multikultural dilakukan untuk meningkatkan kesadaran diri
siswa terhadap nilai-nilai keberbedaan dan keberagaman yang melekat pada
kehidupan siswa lokal sebagai faktor yang sangat potensial dalam membangun cara
pandang kebangsaan. Dengan kesadaran diri siswa terhadap nilai-nilai lokal,
siswa di samping memiliki ketegaran dan ketangguhan secara pribadi, juga mampu
melakukan pilihan-pilihan rasional (rational
choice) ketika berhadapan dengan isu-isu lokal, nasional dan global. Siswa
mampu menatap perspektif global sebagai suatu realitas yang tidak selalu
dimaknai secara emosional, akan tetapi juga rasional serta tetap sadar akan
jati diri bangsa dan negaranya. Kemampuan akademik tersebut, salah satu
indikasinya ditampakkan oleh siswa dalam perolehan hasil pembelajaran yang
dialami.
Kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan
kegiatan belajar siswa adalah laporan kerja (makalah), unjuk kerja dan
partisipasi yang ditampilkan oleh siswa dalam pembelajaran dengan cara diskusi
dan curah pendapat, yang meliputi rasional berpendapat, toleransi dan empati
terhadap menatap nilai-nilai budaya daerah asal teman, serta perkembangan
prestasi belajar siswa setelah mengikuti tes di akhir pembelajaran. Selain itu,
kriteria lain yang dapat digunakan adalah unjuk kerja yang ditampilkan oleh
guru di dalam melaksanakan pendekatan multikultural dalam pembelajarannya.
Guru yang bersangkutan selalu terlibat dalam setiap fase
kegiatan pembelajaran, baik dalam kegiatan diskusi dan refleksi hasil temuan
awal, penyusunan rencana tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dalam
pelaksaan tindakan, diskusi dan refleksi hasil pelaksanaan tindakan, dan
penentuan/penyususunan rencana tindakan selanjutnya dalam pencapain tujuan
pembelajaran.
D.
BAHAN DISKUSI
1. Kebijakan seperti apakah yang perlu
dilakukan oleh pihak sekolah untuk mengembangkan potensi peserta didik?
2. Kedudukan kebudayaan dalam proses
pembelajaran sangatlah penting, namun dalam realitanya proses pengembangan
kebudayaan sering di tentukan oleh IPTEK, Bagaimana cara menyelaraskan
kebudayaan dan IPTEK ?
3. Apakah system social yang di bangun
dalam sekolah sudah terimplementasi sesuai dengan budaya dan kearifan lokal
yang di miliki oleh masyarakat sekitar ?
4. Jika seorang guru kurang memiliki
ketrampilan dalam mengembangkan pendidikan multikultural , bagaimana dampak
dari hal tersebut terhadap peserta didik, khususnya sekolah dasar?
E.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan,
Hamid.2001. Pendekatan
Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional. Bandung:Universitas
Pendidikan Indonesia.
MULTIKULTURAL_UNIT06.pdf
Sutarno. 2008.Pendidikan
Multikultural.Jakarta:direktoratJendral Pendidikan TinggiDepartemen Pemndidikan
Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar