BAB VII
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
DI INDONESIA
A. KOMPETENSI DALAM PROBLEMATIKA
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
1.
Problematika Pendidikan Multikultural di
Indonesia
B. TUJUAN
1.
Mahasiswa diharuskan dapat menyebutkan beberapa contoh problematika
Pendidikan Multikultural di Indonesia
2.
Mahasiswa
diharuskan dapat memahami dan menjelaskan tentang problematika pendidikan
multikultural yang terjadi di Indonesia
3.
Mahasiswa
diharuskan dapat menjelaskan upaya untuk mengurangi dampak negative dari problematika
pendidikan multicultural di Indonesia
C. PEMBAHASAN
Indonesia
merupakan bangsa yang mejemuk.Kemajemukannya itu bukan saja menyebabkan
keragaman yang punya nilai positif tapi juga sekaligus nilai negatifnya.Dimana
perbedaan terkadang dijadikan alasan untuk tidak menyatu serta berbaur.Bentrok
yang terjadi di beberapa daerah sering kali terjadi.Tidak dapat dipungkiri
penyebabnya adalah perbedaan ras,agama,suku dll.
Beberapa peristiwa budaya
yang negatif dan sering muncul di tanah air seperti peristiwa di Poso, Ambon,
Papua, Sampit, Aceh, Bali, Jakarta, dan lain-lain ini disebabkan oleh problema
kemasyarakatan sebagai berikut:
1.
Keragaman Identitas
Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal
sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah
budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang
multikultural. Namun kondisi neka budaya itu sangat berpotensi memecah belah
dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul
jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan
pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik.
Sebab dari konflik-konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar
belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan ras. Konflik-konflik
yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman
identitas etnis, agama dan ras, misalnya peristiwa Sampit. Keragaman ini dapat
digunakan oleh provokator untuk dijadikan isu yang memancing persoalan.
Dalam
mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui
sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya,
diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara
dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui
Pendidikan Multikultural. Adanya Pendidikan Multikultural itu diharapkan
masing-masing warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati
dan bisa saling berkomunikasi.
2.
Kurang Kokohnya
Nasionalisme
Keragaman budaya ini
membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (“integrating force”) seluruh
pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian
nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi
dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat
perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan
menyamakan antara Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang harus
ditinggalkan.
Pada masa Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi, sehingga
ketika Orde Baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde
Baru dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya
Pancasila. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya
tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme
perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi
bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan
Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Bangsa Indonesia sangat
membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan
isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini.
3.
Fanatisme Sempit
Fanatisme
dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit,
yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik
dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak
menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo
nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air.
Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang
berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta
maka hal ini justru tidak sehat.
Terjadi
pelemparan terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada
di sekitar stadion ketika tim kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini. Kecintaan
dan kebanggaan pada korps memang baik dan sangat diperlukan. Namun kecintaan
dan kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok
lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi
hal yang destruktif.
Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian
dengan oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi di tanah air
ini juga merupakan contoh dari fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini
berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah),
maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa.
4.
Kesejahteraan Ekonomi
yang Tidak Merata diantara Kelompok Budaya
Kejadian yang nampak
bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki
ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang
memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi
beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu
oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
Keterlibatan orang dalam
demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun kejadian dan tema
demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat di bidang
ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas duapuluh ribu orang akan ikut
terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah
banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah
terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis ketika himpitan ekonomi
yang mendera mereka. Mereka akan menumpah kekesalan mereka pada
kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu
meraihnya. Hal ini
nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah yang dirusak oleh orang
yang tidak bertanggung dalam berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah
menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial
bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa
kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai
mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan paku ketika mobil itu diparkir di daerah
tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok tertindas ini.
5.
Konflik Kesatuan
Nasional dan Multikultural
Ada tarik menarik antara
kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi
ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas
nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas
nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik
tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika
kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerah
kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan anti pati terhadap
kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi
bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan damai dan
beradab. Kini,
semua pihak yang bertikai sudah bisa didamaikan dan diajak bersama-sama membangun daerah yang porak
poranda akibat peperangan yang berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini.
Di sisi
multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri
dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan
pemerintah pusat yang ada di Jawa ini, contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi
Papua Merdeka) di Papua. Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan
multikultural yang terjadi akhir-akhir ini. Salah seorang panglima perang OPM
yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap negara kesatuan RI telah
mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya.
6.
Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan
pada beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling
menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran
kekuasaan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya
lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orde baru, kebijakan yang terkait dengan
kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi.
Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh
kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal
masing-masing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal
dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun melanggengkan
kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan.
Konsep “putra daerah†untuk menduduki pos-pos penting dalam
pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan
namun tidak perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah
dalam pos-pos penting memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut
memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya. Harapannya
tentu adalah adanya asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus
menerus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang
sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya
iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik yang
destruktif ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk
dalam putra daerah dan pendatang.
Konsep pembagian wilayah menjadi propinsi atau
kabupaten baru yang marak terjadi akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh
kalangan tertentu agar mendapatkan simpati dari warga masyarakat. Mereka
menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini. Warga menjadi mudah
tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang tertindas dan kurang
beruntung.
7.
Keberpihakan yang Salah dari Media Massa, Khususnya Televisi Swasta dalam
Memberitakan Peristiwa
Di antara media massa tentu ada ideologi yang
sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak
publik untuk mengetahui hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap
dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu
yang pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan tertentu,yang justru dapat
merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat
pemerintah yang banyak dilansir media massa dan tidak mendapat “hukuman yang
setimpal†baik dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat menumbuhkan
budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam itu
sangat layak jual dan selalu mendapat perhatian publik, tetapi kalau
terus-menerus diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini
akan dapat mempengaruhi orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang
bertentangan dengan budaya ketimuran. Kasus perceraian rumah tangga para artis
yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik yang negatif, sehingga
kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya baru dan menjadi trend
yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati lembaga perkawinan.
Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu menjadi tema sinetron
karena dapat mendidik orang untuk terlalu mengagungkan materi dan menghalalkan
segala cara. Begitu juga tampilan yang seronok mengundang birahi, pengudaraan
modus kejahatan baru atau pun iklan yang bertubi-tubi dapat menginspirasi orang
melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Televisi dan media massa harus
membantu memberi bahan tontonan dan bacaan yang mendidikkan budaya yang baik.
Karena menonton televisi dan membaca koran sudah menjadi tradisi yang kuat di
negeri ini. Sehingga tontonan menjadi tuntunan, bukan tuntunan sekedar menjadi
tontonan.
Ketika penggusuran gubuk liar yang memilukan
ditampilkan dalam bentuk tangisan yang memilukan seorang anak atau orang
tua yang dipadukan dengan tindakan aparat yang menyeret para gelandangan akan
bermakna lain bagi pemirsa bila yang ditampilkan adalah para preman bertato
yang melawan tindakan petugas pamong praja. Ironi itu nampak bila yang disorot
yaitu tangisan bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di lengan atau di
punggung. Peristiwanya adalah penggusuran gubuk liar, tetapi simbol yang
digunakan berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan
dan putus asa. Tato sering dikonotasikan secara salah sebagai simbol
preman dan tindakan pemalakan. Televisi sangat mempengaruhi opini publik dalam
menyorot berbagai peristiwa.
D.
BAHAN DISKUSI
1.
Keragaman
ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Jelaskan ?
2.
Jelaskan
dan berikan contoh tentang konflik yang terjadi antara yang mementingkan
kesatuan nasional dan multikultural.
3.
Kemukakan
pendapat Anda tentang peranan media
massa dalam membentuk opini publik yang negatif ?
E.
SUMBER PUSTAKA
Sutarno.Pendidikan Multikultural.2007.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Departemen Pendidikan Nasional.
https://phierda.wordpress.com/2013/03/11/problema-pendidikan-multikultural-di-indonesia/ ( Di akses pada tanggal 14 September 2015 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar