Pages

Senin, 09 Mei 2016

Problematika Pendidikan Multikultural di Indonesia



BAB VII
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
DI INDONESIA
                 

A.  KOMPETENSI DALAM PROBLEMATIKA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
1.      Problematika Pendidikan Multikultural di Indonesia

B.  TUJUAN
1.    Mahasiswa diharuskan dapat menyebutkan beberapa contoh problematika Pendidikan Multikultural di Indonesia
2.    Mahasiswa diharuskan dapat memahami dan menjelaskan tentang problematika pendidikan multikultural yang terjadi di Indonesia
3.    Mahasiswa diharuskan dapat menjelaskan upaya untuk mengurangi dampak negative dari problematika pendidikan multicultural di Indonesia

C.  PEMBAHASAN
Indonesia merupakan bangsa yang mejemuk.Kemajemukannya itu bukan saja menyebabkan keragaman yang punya nilai positif tapi juga sekaligus nilai negatifnya.Dimana perbedaan terkadang dijadikan alasan untuk tidak menyatu serta berbaur.Bentrok yang terjadi di beberapa daerah sering kali terjadi.Tidak dapat dipungkiri penyebabnya adalah perbedaan ras,agama,suku dll.
Beberapa peristiwa budaya yang negatif dan sering muncul di tanah air seperti peristiwa di Poso, Ambon, Papua, Sampit, Aceh, Bali, Jakarta, dan lain-lain ini disebabkan oleh problema kemasyarakatan sebagai berikut:
1.            Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi neka budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik. Sebab dari konflik-konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan ras. Konflik-konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan ras, misalnya peristiwa Sampit. Keragaman ini dapat digunakan oleh provokator untuk dijadikan isu yang memancing persoalan.
Dalam  mengantisipasi  hal  itu,  keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui Pendidikan Multikultural. Adanya Pendidikan Multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah  tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi.

2.            Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (“integrating force”) seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi  sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang harus ditinggalkan.
Pada masa Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi, sehingga ketika Orde  Baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi bukan  dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Bangsa Indonesia sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini.

3.            Fanatisme Sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit, yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta maka hal ini justru tidak sehat.
Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini. Kecintaan dan kebanggaan pada korps memang baik dan sangat diperlukan. Namun kecintaan dan  kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif.
Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa.

4.            Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata diantara Kelompok Budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat di bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas duapuluh ribu orang akan ikut terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpah kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah  yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggung dalam berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang  menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan paku ketika mobil itu diparkir di daerah tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok tertindas ini.

5.            Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan  multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan damai dan beradab. Kini, semua pihak yang bertikai sudah bisa didamaikan dan diajak bersama-sama membangun daerah yang porak poranda akibat peperangan yang berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini.
Di  sisi  multikultural,  kita  melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini, contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan multikultural yang terjadi akhir-akhir ini. Salah seorang panglima perang OPM yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap negara kesatuan RI telah mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya.

6.            Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan  demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orde baru, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi.
Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan  ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan.
Konsep  “putra  daerah” untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam  membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah adanya asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus menerus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik yang destruktif ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk
dalam putra daerah dan pendatang.
Konsep  pembagian  wilayah  menjadi propinsi atau  kabupaten baru yang marak terjadi akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan simpati dari warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini. Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang tertindas dan kurang beruntung.

7.         Keberpihakan yang Salah dari Media Massa, Khususnya Televisi Swasta dalam Memberitakan Peristiwa
Di  antara  media  massa  tentu ada ideologi yang  sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan tertentu,yang justru dapat merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat pemerintah yang banyak dilansir media massa dan tidak mendapat “hukuman yang setimpal” baik dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam itu sangat layak jual dan selalu mendapat  perhatian publik, tetapi kalau terus-menerus diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran. Kasus perceraian rumah tangga para artis yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik yang negatif, sehingga kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya baru dan menjadi trend yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati lembaga perkawinan. Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu menjadi tema sinetron karena dapat mendidik orang untuk terlalu mengagungkan materi dan menghalalkan segala cara. Begitu juga tampilan yang seronok mengundang birahi, pengudaraan modus kejahatan baru atau pun iklan yang bertubi-tubi dapat menginspirasi orang melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Televisi dan media massa harus membantu memberi bahan tontonan dan bacaan yang mendidikkan budaya yang baik. Karena menonton televisi dan membaca koran sudah menjadi tradisi yang kuat di negeri ini. Sehingga tontonan menjadi tuntunan, bukan tuntunan sekedar menjadi tontonan.
Ketika  penggusuran  gubuk  liar  yang memilukan ditampilkan dalam bentuk tangisan yang memilukan seorang anak  atau orang tua yang dipadukan dengan tindakan aparat yang menyeret para gelandangan akan bermakna lain bagi pemirsa bila yang ditampilkan adalah para preman bertato yang melawan tindakan petugas pamong praja. Ironi itu nampak bila yang disorot yaitu tangisan bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di lengan atau di punggung. Peristiwanya adalah penggusuran gubuk  liar, tetapi simbol yang digunakan berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan dan  putus asa. Tato sering dikonotasikan secara salah sebagai simbol preman dan tindakan pemalakan. Televisi sangat mempengaruhi opini publik dalam menyorot berbagai peristiwa.

D.  BAHAN DISKUSI
1.        Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Jelaskan ?
2.        Jelaskan dan berikan contoh tentang konflik yang terjadi antara yang mementingkan kesatuan nasional dan multikultural. 
3.        Kemukakan pendapat Anda  tentang peranan media massa dalam membentuk opini publik yang negatif ?

E.  SUMBER PUSTAKA
Sutarno.Pendidikan Multikultural.2007. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
       Departemen Pendidikan Nasional.
( Di akses pada tanggal 14 September 2015 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar