Kamis, 25 Agustus 2016

1. Hakikat, fungsi, dan ragam bahasa secara universal 2. Teori pemerolehan dan perkembangan bahasa 3. Sejarah Bahasa Indonesia dan kedudukan Bahasa Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Di era modern ini, manusia sebagai makhluk berbudaya dan berbahasa memiliki potensi dan ilmu dalam berinteraksi di kehidupan sehari-harinya, tidak bisa dipungkiri bahwa manusia akan berinteraksi satu sama lain yang memiki bahasa dan budaya yang berbeda. Karena manusia sudah ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang akan selalu berinteraksi dengan manusia lain.
Dalam interaksi antar satu manusia dan manusia lain, maka dibutuhkan sesuatu alat komunikasi yaitu ‘Bahasa’. Bahasa adalah hal yang berperan penting dalam kehidupan kita. Bahasa memiliki banyak fungsi seperti untuk berkomunikasi dengan orang lain dan untuk menyampaikan gagasan. Bahasa tidaklah muncul secara tiba-tiba. Setiap bahasa yang ada di dunia ini memiliki sejarah masing-masing. Termasuk Bahasa Indonesia yang memiliki sejarah mulai sejak muncul, proses penyempurnaan hingga sekarang ini menjadi bahasa yang kita gunakan dalam kehidupan kita.
Sehingga muncul beberapa teori tentang cara pemerolehan serta perkembangan bahasa. Akibatnya bahasa juga memiliki banyak ragam serta jenis. Di dalam suatu negara bahasa juga memiliki kedudukan, seperti sebagai bahasa nasional, alat pemersatu bangsa, lambang dan lain-lain.

B.     RUMUSAN MASALAH  
1.    Apakah hakikat bahasa, fungsi bahasa, dan ragam bahasa secara universal ?
2.    Bagaimanakah Teori pemerolehan dan perkembangan bahasa ?
3.    Bagaimanakah Sejarah Bahasa Indonesia dan kedudukan Bahasa Indonesia ?
      
     
C.    TUJUAN
Tujuan dari pembuatan Makalah ini adalah
1.      Menjelaskan hakikat bahasa, fungsi bahasa, dan ragam bahasa secara universal
2.      Menjelaskan teori pemerolehan dan perkembangan bahasa
3.      Menjelaskan sejarah bahasa Indonesia dan kedudukan bahasa Indonesia


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hakikat Bahasa, Fungsi Bahasa dan Ragam Bahasa
1.      Hakikat Bahasa
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. (Krisdalaksana : 1983)
Secara ontologis,  hakikat bahasa dapat dijabarkan sebagai berikut:
a.    Bahasa adalah Sistemik
Karena bahasa memiliki sistem, aturan, atau pola-pola tertentu. Secara umum bahasa mempunyai dua sistem, yaitu sistem bunyi dan sistem makna.
b.      Bahasa bersifat Arbitrer
Karena tidak adanya aturan yang mengatur secara khusus dalam membentuk leksikal (kata) dalam suatu bahasa, yang ada hanyalah suatu kesepakatan, juga konvensi yang bersifat lokal mengenai kata yang dibentuk.
c.    Bahasa Vokal
Karena hakikatnya bunyi yang dihasilkan dalam bahasa itu adalah bunyi yang dihasilkan oleh altikulor (alat ucap), sehingga bahasa yang sebenarnya adalah bahasa lisan (vokal).
d.      Bahasa itu Simbol
Pada hakikatnya bahasa adalah simbol atau lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi secara singkat dan efisien.
Simbol atau lambang yang diungkapkan itu selalu mengacu pada suatu maksud, baik riil atau abstrak. Seperti, kata “kuda” yang kita ucapkan itu mengacu pada binatang berkaki empat, berkuku satu yang biasa dipelihara orang untuk digunakan sebagai kendaraan (tunggangan atau penarik) (definisi riil).
e.    Bahasa Mengacu pada Dirinya Sendiri
Dapat digunakan untuk menjelaskan, menyebut, mendeskripsikan bahasa itu sendiri.
f.       Bahasa Komunikasi
Karena merupakan fungsi utama bahasa, manusia dapat saling berkomunikasi, merespon, dan saling memahami apa saja yang diungkapkan satu sama lain.
g.      Bahasa itu Dinamis
Karena bahasa itu selalu terus menerus mengalami perubahan dan perkembangan

2.      FUNGSI BAHASA
a.         Bahasa sebagai sarana Komunikasi
 Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat. Fungsi tersebut digunakan dalam berbagai lingkungan, tingkatan, dan kepentingan yang beraneka ragam, misalnya : komunikasi sosial, bisnis, kerja, dan budaya.
b.      Bahasa sebagai sarana adaptasi dan integrasi
Dengan bahasa orang dapat menyatakan hidup bersama dalam suatu ikatan. Misalnya : integritas kerja dalam sebuah institusi, integritas kerja sama dalam bidang bisnis, integritas berbangsa dan bernegara.
c.       Bahasa sebagai kontrol sosial
Bahasa sebagai kontrol sosial berfungsi untuk mengendalikan komunikasi agar orang yang terlibat dalam komunikasi dapat saling memahami.
d.      Bahasa sebagai sarana memahami diri
Dalam membangun karakter seseorang harus dapat memahami dan mengidentifikasi kondisi dirinya terlebih dahulu. Ia harus dapat menyebutkan potensi dirinya, kelemahan dirinya, kekuatan dirinya, bakat, kecerdasan, kemampuan intelektualnya, kemauannya, tempramennya, dan sebagainya.
e.       Bahasa sebagai ekspresi diri
Bahasa sebagai ekspresi diri dapat dilakukan dari tingkat yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.
f.       Bahasa sebagai sarana memahami orang lain
Untuk menjamin efektifitas komunikasi, seseorang perlu memahami orang lain, seperti dalam memahami dirinya. Dengan pemahaman terhadap seseorang, pemakaian bahasa dapat mengenali berbagai hal mencakup kondisi pribadinya.
g.      Bahasa sebagai sarana mengamati lingkungan sekitar
Bahasa sebagai alat untuk mengamati masalah tersebut harus diupayakan kepastian konsep, kepastian makna, dan kepastian proses berfikir sehingga dapat mengekspresikan hasil pengamatan tersebut secara pasti. Misalnya apa yang melatar belakangi pengamatan, bagaimana pemecahan masalahnya, mengidentifikasi objek yang diamati, menjelaskan bagaimana cara (metode) mengamati, apa tujuan mengamati, bagaimana hasil pengamatan, dan apa kesimpulan.
h.      Bahasa sarana berfikir logis
Kemampuan berfikir logis memungkinkan seseorang dapat berfikir logis induktif, deduktif, sebab – akibat, atau kronologis sehingga dapat menyusun konsep atau pemikiran secara jelas, utuh dan konseptual. Melalui proses berfikir logis, seseorang dapat menentukan tindakan tepat yang harus dilakukan.
i.        Bahasa membangun kecerdasan
Kecerdasan berbahasa terkait dengan kemampuan menggunakan sistem dan fungsi bahasa dalam mengolah kata, kalimat, paragraf, wacana argumentasi, narasi, persuasi, deskripsi, analisis atau pemaparan, dan kemampuan mengunakan ragam bahasa secara tepat sehingga menghasilkan kreativitas yang baru dalam berbagai bentuk dan fungsi kebahasaan.
j.        Bahasa mengembangkan kecerdasan ganda
Selain kecerdasan berbahasa, seseorang dimungkinkan memiliki beberapa kecerdasan sekaligus. Kecerdasan – kecerdasan tersebut dapat berkembang secara bersamaan. Selain memiliki kecerdasan berbahasa, orang yang tekun dan mendalami bidang studinya secara serius dimungkinkan memiliki kecerdasan yang produktif.
k.      Bahasa membangun karakter
Kecerdasan berbahasa memungkinkan seseorang dapat mengembangkan karakternya lebih baik. Dengan kecerdasan bahasanya, seseorang dapat mengidentifikasi kemampuan diri dan potensi diri.
l.        Bahasa Mengembangkan profesi
Proses pengembangan profesi diawali dengan pembelajaran dilanjutkan dengan pengembangan diri (kecerdasan) yang tidak diperoleh selama proses pembelajaran, tetapi bertumpu pada pengalaman barunya. Proses berlanjut menuju pendakian puncak karier / profesi.
m.    Bahasa sarana menciptakan kreatifitas baru
Bahasa sebagai sarana berekspresi dan komunikasi berkembang menjadi suatu pemikiran yang logis dimungkinkan untuk mengembangkan segala potensinya. Perkembangan itu sejalan dengan potensi akademik yang dikembangkannya.


3.        RAGAM BAHASA
a.       Ragam Bahasa Berdasarkan Tempat
1)       Ragam Dialek
Ragam dialek adalah ragam bahasa yang dipengaruhi oleh bahasa daerah si pembicara atau ragam bahasa daerah yang ditandai oleh daerah atau kota.
b.      Ragam Bahasa Berdasarkan Sarana
1)        Ragam Lisan
Ragam lisan adalah ragam bahasa yang diungkapkan dengan sarana lisan yang ditandai oleh pengulangan intonasi, spontanitas sehingga kriteria kejelasan ketepatan dan kelugasan terpenuhi oleh si penutur.
2)        Ragam Tulisan
Ragam tulisan adalah variasi bahasa yang digunakan melalui sarana tulisan dan dapat diperkuat atau didukung oleh sarana visual untuk mencapai sasaran.
c.       Ragam Bahasa Berdasarkan Penutur
1)      Ragam bahasa berdasarkan pendidikan penutur
Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari seharusnya mencari.
2)      Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur
Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara akan makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
d.      Ragam Bahasa Berdasarkan Situasi
1)   Ragam Baku
Ragam baku adalah ragam bahasa yang dipakai dalam forum resmi. Ragam ini bisa juga disebut ragam resmi
2)      Ragam Tidak Baku
Ragam tidak baku adalah ragam bahasa yang menyalahi kaidah-kaidah yang terdapat dalam bahasa baku.
e.       Ragam Bahasa Berdasarkan Bidang
1)      Ragam Ilmu dan Teknologi
Ragam ilmu dan teknologi adalah ragam bahasa yang digunakan dalam bidang keilmuan dan teknologi
2)      Ragam Sastra
Ragam satra adalah ragam bahasa yang bertujuan untuk memperoleh kepuasan estetis dengan cara penggunaan kata secara cermat dengan gramatikal tertentu.
3)      Ragam Niaga
Ragam niaga adalah ragam bahasa yang digunakan untuk menarik pihak konsumen agar dapat melakuakan tindak lanjut dalam kerjasama untuk mencari suatu keuntungan finansial.

B.  TEORI PEMEROLEHAN DAN PERKEMBANGAN BAHASA
1.         Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah proses-proses yang berlaku di dalam otak seorang anak ketika memperoleh bahasa ibunya. Untuk dapat melekukan kajian tenteng pemerolehan bahasa, perlu kita memahami konsep pemerolehan bahasa. Pemerolehan bahasa dibagi menjadi dua, yaitu pemerolehan bahasa pertama ( first laguage acquisition) yang biasa disebut dengan bahasa ibu atau B1 dan pemerolehan bahasa kedua (second laguage acquisition) yaitu kajian tentang bagaimana pembelajra mempelajari sebuah bahasa lain setelah dia memperoleh bahasa ibunya.
Mengikuti penelitan secara empiris, tedapat dua teori utama tentang bagaimana manusia memperoleh bahasa pertamanya yang diperbincangkan dikalangan para peneliti.
a.      Nativist Theory
Berpendapat bahwa manusia memeperoleh bahasanya secara alami. Kemudian teori ini dikenal dengan hipotesis nurani yang dipelopri oleh Leneberg dan Chomsky. Hipotesis nurani lahir dari sebuah pertanyaan, sebenarnya alat apa yang digunakan anak dalam memperoleh bahasanya yang kemudian dijadikan bahan penelitian oleh kedua pelopor tersebut.hasil penelitan tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Semua  anak normal akan memperoleh bahasa ibunya asalkan dia dikenalkan dengan bahasa itu.
2)      Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan.
3)      Kalimat yang digunakan anak cenderung tanpa menggunakan gramatikal, tidak lengkap dan jumlahnya sedikit.
4)      Hanya manusia yang bisa berbahasa.
5)      Perkembangan bahsa anak sejalan dengan perkembangan lain.
6)      Srtuktur bahsa sangat rumit, komoleks dan istimewa.
b.      Learning Theory
Menyatakan bahwa manusia memperoleh bahasa melalaui proses mempelajari. Teori ini lahir dari pakar psikologi dari Harvard yaitu B.F.Skinner. Skinner adalah seorang toko Behaviorisme yang menyatakan bahasa adalah perilaku verbal. Behaviorisme adalah aliran  psikologi yang mempelajari tentang perilaku yang nyata yang bisa diuukur secara objektiv.

2.      Teori Perkembangan Bahasa
Kemunculan bahasa dalam pandangan Michael C. Corballis, dimulai dari bahasa isyarat, oleh karena itu pernyataan: “pokok bahasa (jauharu al-lughah) ada pada perkataan (kalam)” tidak sepenuhnya benar. Sebab, secara keseluruhan segala sesuatu bermula dari isyarat (ini/itu), terbukti dengan masih adanya beberapa bahasa isyarat yang masih ada sampai sekarang. Seperti isyarat tangan untuk menunjuk sesuatu, isyarat mata untuk kode tertentu, isyarat kepala untuk mengiyakan sesuatu dan isyarat-isyarat lain yang menunjukkan terhadap kalimat-kalimat tertentu yang lain.
Perkembangan bahasa berikutnya muncullah bahasa secara definitif yang terbagi ke dalam beberapa fase, sebagaimana berikut : Fase pertama adalah bunyi kekanak-kanakan yang muncul mulai dari masa balita, kemudian fase kedua bunyi yang ditangkap dari meniru dalam bentuk yang paling sederhana, seperti sebutan (maa) bagi anak-anak balita untuk memanggil ibunya. Fase ketiga adalah bunyi yang berulang-ulang, fase keempat adalah pelafalan kata, fase kelima adalah pembuatan kalimat  dan terakhir fase keenam adalah kodivikasi kaidah.
Teori Perkembangan Bahasa
Penelitian yang dilakukan terhadap perkembangan bahasa anak tentunya tidak terlepas dari pandangan, hipotess atau teori psikologi yang dianut. Dalam hal ini sejarah telah mencatat adanya tiga pandangan atau teori dalam perkembangan bahasa anak. Dua pandangan yaitu pandangan NATIVISME yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa pada kanak-kanak bersifat  alamiah dan pandangan BEHAVIORISME yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa pada kanak-kanak bersifat “suapan”. Pandangan ketiga muncul di Eropa dari Jean Piaget  yang berpendapat bahwa pengusaan bahasa adalah kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif, sehingga disebut KOGNITIVISME. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat ketiga pandangan tersebut :
TEORI NATIVISME
Menurutnya, bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat Chomsky didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki pola perkembangan yang sama (merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan memiliki peran kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu yang relatif singkat.Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa.
Kaum nativis berpendapat bahwa bahasa itu terlalu kompleks dan rumit, sehingga mustahil dapat dipelajari dalam waktu singkat melalui metode  seperti “peniruan” (imitation). Jadi, pasti ada beberapa aspek penting mengenai sistem bahasa yang sudah ada pada manusia secara alamiah. Nativisme juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh bahasa (language acquisition device, disingkat LAD). Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh anak bergantung pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan di lingkungan Amerika sudah pasti bahasa Inggris menjadi bahasa pertamanya.
McNeill (Brown, 1980: 22) menyatakan bahwa LAD terdiri dari: (a) kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain, (b) kecakapan mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang kemudian, (c) pengetahuan tetang sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkin, dan (d) kecakapan menggunakan sistem bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan sistem linguistik, dengan demikian dapat melahirkan sistem yang dirasakan mungkin di luar data linguistik yang ditemukan.
 TEORI BEHAVIORISTIK
Teori behaviorisme memandang bahwa perilaku manusia merupakan perilaku yang dapat dipelajari dan diamati secara nyata, dan terbentuk karena dipengaruhi oleh faktor eksternal (diluar diri manusia). Teori ini kemudian diaplikasikan dalam konsep belajar. Menurut aliran ini, belajar merupakan proses respons karena adanya stimulus/rangsangan yang mendorong adanya perubahan perilaku. Stimulus belajar dapat berupa motivasi, ganjaran(reward), hukuman (punishment), dan lingkungan yang kondusif.
Teori Behavioristik pertama kali dimunculkan oleh Jhon B.Watson (1878-1958),  seorang ahli psikologi berkebangsaan Amerika. Dia mengembangkan Teori Stimulus-Respons Bond (S – R Bond) yang telah diperkenalkan oleh Ivan P.Pavlov. Menurut teori ini tujuan utama psikologi adalah membuat prediksi dan pengendalian terhadap perilaku, dan sedikitpun tidak ada hubungannya dengan kesadaran.
Menurut kaum behavioris kemampuan berbicara dan memahami bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkunganya. Anak dianggap penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak memiliki peran yang aktif di dalam proses perkembangan perilaku verbalnya. Kaum behavioris bukan hanya tidak mengakui peranan aktif si anak dalam proses pemerolehan bahasa, malah juga tidak mengakui kematangan si anak itu. Proses perkemabangan bahasa terutama ditentukan oleh lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungannya.
Kaum behavioris tidak mengakui pandangan bahwa anak mengusai kaidah bahasa dan memiliki kemampuan untuk mengabstrakan ciri-ciri penting dari bahasa di lingkunganya. Mereka berpendapat rangsangan  (stimulus) dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbahasa anak. Perkembangan bahasa mereka pandang sebagai suatu kemajuan dari pengungkapan verbal yang berlaku secara acak sampai ke kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip pertalian          S <->R (stimulus- respons) dan proses peniruan-peniruan.
Selanjutnya Bell (1981:24) mengungkapkan pandangan aliran behaviorisme yang dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimanakah sesungguhnya manusia memelajari bahasa, yaitu:
Dalam upaya menemukan penjelasan atas proses pembelajaran manusia, hendaknya para ahli psikologi memiliki pandangan bahwa hal-hal yang dapat diamati saja yang akan dijelaskan, sedangkan hal-hal yang tidak dapat diamati hendaknya tidak diberikan penjelasan maupun membentuk bagian dari penjelasan.
Pembelajaran itu terdiri dari pemerolehan kebiasaan, yang diawali dengan peniruan. Respon yang dianggap baik menghasilkan imbalan yang baik pula. Kebiasaan diperkuat dengan cara mengulang-ulang stimuli dengan begitu sering sehingga respon yang diberikan pun menjadi sesuatu yang bersifat otomatis.
TEORI  KOGNITIVISME
Jean piaget (1954) menyatakan bahwa bahasa itu bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu diantara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar; maka perkembangan bahasa harus berlandas pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urut-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa.
Piaget menegaskan bahwa struktur yang kompleks dari bahasa bukanlah sesuatu yang diberikan oleh alam, dan bukan pula sesuatu yang dipelajari dari lingkungan. Struktur bahasa itu timbul sebagai akibat interaksi yang terus-menerus antara tingkat fungsi kognitif si anak dengan lingkungan kebahasaannya (juga lingkungan lain). Struktur itu timbul secara tak terelakan dari serangkaian interaksi. Oleh karena itu timbulnya tak terelakan, maka struktur itu tidak perlu tersedia secara alamiah.
Jika Chomsky berpendapat bahwa lingkungan tidak besar pengaruhnya pada proses pematangan bahasa, maka  Piaget berpendapat bahwa lingkungan juga tidak besar pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak. Perubahan atau perkembangan intelektual anak sangat tergantung pada keterlibatan anak secara akatif dengan lingkungannya.
Bagaimana hubungan antara perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa pada anak dapat kita lihat dari keterangan Piaget mengenai tahap paling awal dari perkembangan intelektual anak. Tahap perkembangan dari lahir sampai usia 18 bulan oleh Piaget disebut sebagai tahap “sensori motor”. Pada tahap ini dianggap belum ada bahasa karena anak belum menggunakan  lambang-lambang untuk menunjuk pada benda-benda di sekitarnya. Anak pada tahap ini memahami dunia melalui alat indranya (sensorik) dan gerak kegiatan yang dilakukannya (motorik). Anak hanya mengenal benda jika benda itu dialaminya secara langsung. Begitu benda itu hilang dari penglihatannya maka benda itu dianggap tidak ada lagi. Menjelang akhir usia satu tahun barulah anak itu dapat menangkap bahwa objek itu tetap ada (permanen), meskipun sedang tidak dilihatnya. Sedang dilihat atau tidak benda itu tetap ada sebagai benda, yang memiliki sifat permanen.
Sesudah mengerti kepermanenan objek anak mulai menggunakan simbol untuk mempresentasikan objek yang tidak lagi hadir di hadapannya. Simbol ini kemudian menjadi kata-kata awal yang diucapkan si anak. Jadi, menurut pandangan kognitivisme perkembangan kognitif harus tercapai lebih dahulu dan baru sesudah itu pengetahuan itu dapat keluar dalam bentuk ketrampilan berbahasa.

C.      SEJARAH BAHASA INDONESIA DAN KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA
1.      Sejarah Bahasa Indonesia
a.      Asal Mula Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera.
Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya akhirnya keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat.
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya melarikan diri sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur".
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.”
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.

b.      Peristiwa-peristiwa penting

1)        Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
2)        Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[17]
3)        Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
4)        Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
5)        Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
6)        Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
7)        Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
8)        Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
9)        Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
10)    Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
11)    Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
12)    Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
13)    Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
14)    Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
15)    Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
16)    Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.

c.       Penyempurnaan ejaan

Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu/Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut:

1)     Ejaan van Ophuijsen

Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
a)      Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
b)      Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
c)      Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
d)     Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.

2)     Ejaan Republik

Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga dikenal dengan nama Ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
a)      Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
b)      Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
c)      Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
d)     Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.

3)     Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)

Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.

4)     Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)

Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.

2.      Kedudukan Bahasa Indonesia
a.      Kedudukan bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Kedudukan pertama bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa persatuan. Hal ini tercantum dalam Sumpah pemuda (28 Oktober 1928). Ini berarti bahwa bahasa Indonesia berkedudukan sebagai Bahasa Nasional. Kedua adalah sebagai bahasa negara. Dalam kedudukannya sebagai Bahasa Nasional, Bahasa Indonesia memiliki beberapa fungsi yaitu : 
1)        Lambang kebanggaan kebangsaan
Bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai luhur yang mendasari perilaku bangsa Indonesia
2)      Lambang Identitas Nasional 
Bahasa Indonesia mewakili jatidiri bangsa Indonesia, selain Bahasa Indonesia terdapat pula lambang identitas nasional yang lain yaitu bendera Merah-Putih dan lambang negara Garuda Pancasila.
3)      Alat perhubungan 
Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku dengan bahasa yang berbeda-beda, maka sangat sulit berkomunikasi kecuali ada satu bahasa pokok yang digunakan. Oleh karena itu digunakanlah Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dan perhubungan nasional.
4)        Alat pemersatu bangsa 
Mengacu pada keragaman yang ada pada Indonesia dari suku, agama, ras, dan budaya, bahasa Indonesia dijadikan sebagai media yang dapat membuat kesemua elemen masyarakat yang beragam tersebut kedalam sebuah persatuan.

b.   Kedudukan Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Negara
Bahasa negara sama saja dengan bahasa nasional atau bahasa persatuan artinya bahasa negara merupakan bahasa primer dam baku yang sering digunakan pada kesempatan yang formal.

Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara yaitu : 
1)      Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan
Kedudukan pertama dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dibuktikan dengan digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Mulai saat itu dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulis.
2)      Bahasa Indonesia sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan. 
Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dibuktikan dengan pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan dari taman kanak-kanak, maka materi pelajaran yang berbentuk media cetak juga harus berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing atau menyusunnya sendiri. Cara ini akan sangat membantu dalam meningkatkan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek)
3)      Bahasa Indonesia sebagai penghubung pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah
Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dibuktikan dengan digunakannya Bahasa Indonesia dalam hubungan antar badan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuannya agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh masyarakat.
4)      Bahasa Indonesia Sebagai Pengembangan Kebudayaan Nasional, Ilmu dan Teknologi
Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dibuktikan dengan penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lainnya. Karena sangat tidak mungkin bila suatu buku yang menjelaskan tentang suatu kebudayaan daerah, ditulis dengan menggunakan bahasa daerah itu sendiri, dan menyebabkan orang lain belum tentu akan mengerti isi buku tersebut.


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Bahasa adalah sarana untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik yaitu yang diterima dan dipatuhi pemakaiannya secara universal. Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik dan orang yang dibicarakan, serta menurut media pembicaraan.
2.      Pemerolehan bahasa adalah proses-proses yang berlaku di dalam otak seorang anak ketika memperoleh bahasa ibunya. Adapun teori – teorinya adalah Nativist Theory dan Learning Theory. Pemerolehan bahasa pertama adalah apabila seseorang memperoleh bahasa yang semula tanpa bahasa. Pemerolehan bahasa kedua (PB2) mengacu kepada mengajar dan belajar bahasa asing dan bahasa kedua lainnya. Maksudnya adalah pemerolehan bahasa selain dari bahasa ibunya.
3.      Bahasa Indonesia berasal dari varian bahasa melayu yang sudah digunakan sejak awal-awal penanggalan modern. Bahasa Indonesia mengalami banyak perkembangan dan penyempurnaan ejaan. Kedudukan Bahasa Indonesia adalah sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Negara.

B.     SARAN
1.      Pada ragam bahasa lisan diharapkan para warga Indonesia terutama mahasiswa sebagai insan berpendidikan mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik, sopan, serta mengikuti pedoman yang ada sesuai denga ejaan bahasa yang telah disempurnakan (EYD).
2.      Dalam menggunakan bahasa Indonesia kita harus menerapkan konsep dasar dalam berbahasa serta mengembangkan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dan tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari pada saat beraktifitas.
3.      Diharapkan para pembaca dapat memahami hakikat, funsi, ragam, sejarah, kedudukan serta konsep-konsep dasar Bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA


Doyin, Mukh dan Wagiran.2012.Bahasa Indonesia Pengantar Penulisan Karya  Ilmiah.Semarang : UNNES PRESS




0 komentar:

Posting Komentar

 
;