Senin, 09 Mei 2016

Teori Pendidikan Multikultural Dan Pendekatan Terhadap Pendidikan Multikultural



BAB IV
TEORI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DAN PENDEKATAN TERHADAP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

A.    SUB POKOK BAHASAN
1.      Teori Pendidikan Multikultural menurut Horace Kallen.
2.      Tiga kelompok budaya di Amerika menurut James A. Banks.
3.      Pandangan Bill Martin mengenai Pendidikan Multikultural.
4.      Pendekatan terhadap Pendidikan Multikultural

B.     TUJUAN
1.      Mahasiswa diharuskan mampu memahami teori Pendidikan Multikultural menurut Horace Kallen.
2.      Mahasiswa diharuskan mampu memahami tiga kelompok budaya di Amerika menurut James A. Banks.
3.      Mahasiswa diharuskan mampu memahami teori Pendidikan Multikultural menurut Bill Martin.
4.      Mahasiswa diharuskan mampu memahami teori Pendidikan Multikultural menurut Martin J. Back.
5.      Mahasiswa diharuskan mampu memahami Pendekatan terhadap Pendidikan Multikultural



C.    PEMBAHASAN
I.          Teori Pendidikan Multikultural
1.      Teori Pendidikan Multikultural menurut Horace Kallen
Horace Kallen adalah perintis teori multicultural. Budaya disebut pluralism budaya (cultural pluralism) Jika budaya suatu Bangsa memiliki banyak segi dan nilai-nilai. Pluralisme budaya didefinisikan oleh Horece Kallen sebagai “menghargai berbagai tingkat perbedaan dalam batas-batas persatuan nasional”. Sebagai budaya yang dominan, White Anglo-Saxon protestan harus diakui masyarakat, Sedangkan budaya yang lain itu dipandang vareasi dan dipandang kebudayaan Amerika.

Jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-lain; budaya itu dapat disebut pluralisme budaya (cultural pluralism). Teori pluralisme budaya ini dikembangkan oleh Horace Kallen. Ia menggambarkan pluralisme budaya itu dengan definisi operasional sebagai menghargai berbagai tingkat perbedaaan, tetapi masih dalam batas-batas menjaga persatuan nasional. Kellen mencoba mengekspresikan bahwa masing-masing kelompok etnis dan budaya di Amerika Serikat itu penting dan masing-masing mengontribusi unik menaambah variasi dan kekayaan budaya, misalnya bangsa Amerika Serikat. Teori Kellen mengakui bahwa budaya yang dominan harus juga diakui oleh masyarakatnya sendiri. Dalam konteks ini kellen tetap mengakui bahwa budaya Wasp di Amerika Serikat sebagai budaya yang dominan, sementara budaya-budaya yang lain dipandang menambah variasi dan kekayaan budaya Amerika.

2.      Tiga kelompok budaya di Amerika menurut James A. Banks
James A. Banks dikenal sebagai perintis pendidikan multikltural . Banks yakni bahwa pendidikan seharusnya lebih megarh pada mengajarimereka bagaimana berfikir dari pada apa yang dapikirkan. Siswa perlu disadarkan bahwa didalam pengetahuan ang ia terima itu terdapat beraneka ragam interpretasi sesuai epentingan masin-masing. Siswa perlu diajarkan dalam menginterpretasi sejarah masalalu dan dalam perubahan sejarah. Siswa hrus berpikir kritis dengan member pengetahuan dan ketrampilan yang memadai dan memiliki komitmen yang tinggi untuk erpartisipasi dalam tindakan demokrasi. Di dalam The Canon Debate, Knowledge Construction, and Multicultural Education, Banks mengidentifikasi tiga kelompok cendekiawan yang berbeda dalam menyoroti keberadaan kelompok – kelompok budaya di Amerika Serikat yaitu:
1)      Traditionalis Barat
Tradisionalis barat, seperti halnya dengan kelompok prulalisme budaya dari Horce Kellen, menyakini  bahwa budaya yang dominan dari peradaban barat yaitu kelompok white, Anglo saxon dan protestan. Kelompok ini beranggapan bahwa mereka berada diposisi terancam dan berbahaya ., karena mengenyampingkan kelompok feminis, minoritas dan reformasi multikultural yang lain. Namun tidak seperti kelompok pluralisme budaya Kellen, tradisional barat masih sedikit memberi perhatian pada pengajaran keanekaragaman atau multikultur.
2)      Kelompok Afrosentris
Kelompok ini beranggapan bahwa pengabaian kelompok lain itu memang benar terjadi dan kelompok ini juga berpendapat bahwa sejarah dan budaya orang Afrika lah yag seharusnya menjadi sentraldari kirukulum. Afrosentris juga menyakini bahwa sejarah dan budaya orang afrika menjadi sentral dan kurikulum untuk memotifasi siswa Afrika-Amerika dalam belajar.
3)      Multikulturalis, yang percaya bahwa pendidikan seharusnya direformasi untuk lebih memberi perhatian pada pengalaman orang kulit berwarna dan wanita. Kelompok ini sekarang sedang berkembang dan sedang memperjuangkan posisi ditengah dominasi kelompok yang sudah mapan.

3.      Pandangan Bill Martin mengenai Pendidikan Multikultural
Dalam tulisannya yang berjudul Multiculturalism: Consumerist or Transformational?, Bill Martin menulis, bahwa keseluruhan isu tentang multikulturalisme memunculkan pertanyaan tentang “perbedaan” yang nampak sudah dilakukan berbagai teori filsafat atau teori sosial. Sebagai agenda sosial dan politik, jika multikulturalisme lebih dari sekedar tempat bernaung berbagai kelompok yang berbeda, maka harus benar-benar menjadi ‘pertemuan’ dari berbagai kelompok itu yang tujuannya untuk membawa pengaruh radikal bagi semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal (Martin, 1998: 128).

Seperti halnya Banks, Martin menentang tekanan dari afrosentri dan tradisionalos barat. Martin menyebut afrosentris dan tradisionalis barat itu sebagai “consumerist multiculturalism” bukan “konsumeris” tetapi “transformational, yang memerlukan kerangka kerja. Martin mengatakan bahwa dismping isu tentang kelas sosial, ras, etnis dan pandangan lain berbeda, diperlukan komunikasi tentang berbagai segi pandangan yang berbeda. Masyarakat harus memiliki visi kolektif tipe baru dari perubahan sosial menuju multikulturalisme yaitu visi yang muncul lewat transformasi. Martin memandang perlu adanya perubahan yang mendasar diantara kelompok-kelompok budaya itu sampai diketemukan adanya visi baru yang dimiliki dan dikembangkan bersama.

II.            Pendekatan terhadap Pendidikan Multikultural
1.        Kurikulum Berpusat Pada Paham Budaya Utama
Kelompok budaya yang dominan di masyarakat AS  disebut aliran utama budaya orang Amerika. Sebagian besar kurikulum sekolah, buku teks, dan materi pelajaran kurang memberi perhatian pada kelompok ini. Bahkan, sebagian besar kurikulum, buku teks, dan materi pelajaran  lebih berfokus pada White Anglo-Saxon Protestants (Banks, 1993: 195). Kurikulum yang hanya berfokus pada aliran utama (budaya dominan) Amerika dan mengabaikan pengalaman, budaya dan sejarah dari kelompok etnis, ras, budaya dan agama yang lain akan memiliki konsekuensi yang negatif. Konsekuensi negatif bagi siswa Amerika dari aliran utama maupun siswa dari kulit berwarna yang bukan termasuk dalam kelompok dominan ini. James A. Banks berpendapat bahwa kurikulum yang berpusat pada aliran utama (a mainstream-centric curriculum) ini justru dapat menjadi satu cara utama yang memperkuat rasisme dan etnosentrisme dan hal ini diabadikan di sebagian besar sekolah dan di masyarakat Amerika.

Kurikulum berpusat pada aliran utama memiliki konsekuensi negatif terhadap siswa dari aliran utama karena kurikulum ini memperkokoh rasa superioritas yang keliru (false sense of superiority), memberi mereka konsepsi yang salah tentang hubungan mereka dengan kelompok ras dan etnis lainnya, dan menolak kesempatan memperoleh manfaat dari pengetahuan, perspektif, dan kerangka pikir yang dapat diperoleh dari mengkaji dan mengalami budaya dan kelompok lain. Kurikulum yang berpusat pada aliran utama juga mengabaikan kesempatan siswa Amerika aliran utama untuk melihat kebudayaan mereka dari sudut pandang budaya lain. Jika orang melihat kebudayaan mereka dari sudut pandang budaya lain, mereka dapat memahami budayanya sendiri secara lebih utuh. Dengan demikian mereka dapat melihat bagaimana keunikannya dan perbedaanya dari budaya lain, dan memahami secara lebih baik bagaimana budaya itu berhubungan dan berinteraksi dengan budaya lainnya.  Kurikulum berpusat aliran utama berpengaruh secara negatif terhadap siswa kulit berwarna, seperti orang Afrika-Amerika, Hispanis, dan Asia-Amerika. Kurikulum itu mengabaikan pengalaman dan budaya mereka dan tidak menggambarkan impian, harapan, dan perspektif kelompok yang tidak termasuk aliran utama ini.

Pada pendekatan berpusat aliran utama, peristiwa, tema, konsep, dan isu dipandang terutama dari perspektif kelas menengah Anglo-Amerika dan Eropah. Perkembangan peristiwa dan budaya seperti eksplorasi orang Eropah di Amerika dan perkembangan musik Amerika dipandang dari perspektif Anglo dan Eropah dan dievaluasi dengan menggunakan kriteria dan sudut pandang dari aliran utama.

2.        Upaya Menyusun Kurikulum Multikultural
Sejak gerakan hak-hak sipil tahun 1960-an, para pendidik sedang mencoba, dengan berbagai cara, mengintegrasikan kurikulum sekolah secara lebih baik dengan materi etnis dan berupaya mengubah kurikulum berpusat Eropah (aliran utama). Hal ini dibuktikan dengan sulitnya merumuskan tujuan sekolah karena adanya berbagai pertimbangan yang kompleks.  Ideologi Kaum Asimilasi yang kuat yang dianut oleh sebagian besar pendidik AS adalah satu alasan utama. Ideologi asimilasionis membuat pendidiknya sulit berpikir beda tentang bagaimana masyarakat dan budaya AS berkembang dan memperoleh komitmen untuk membuat kurikulum multikultural. Individu yang memiliki ideologi asimilasionis yang kuat berpandangan bahwa peristiwa dan perkembangan paling penting di masyarakat AS dihubungkan dengan warisan negara Inggris dan bahwa kontribusi kelompok etnis dan budaya yang lain tidak begitu penting.

Perlawanan ideologis (ideological resistance) merupakan faktor utama yang memperlambat dan masih lambatnya perkembangan multikultural, namun faktor lain juga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Perlawanan politis terhadap kurikulum multikultural sangat berkaitan dengan perlawanan ideologis. Beberapa orang yang menentang kurikulum multikultural meyakini bahwa pengetahuan adalah kekuatan dan bahwa perspektif multikultural masyarakat AS menantang struktur kekuatan yang ada. Jadi mereka berpandangan bahwa kemunculan kurikulum multikultural bisa dianggap sebagai kekuatan baru yang membahayakan eksistensi dari kelompok yang menjadi aliran utama ini. Mereka yakin bahwa kurikulum berpusat pada aliran utama yang dominan mendukung, memperkuat, dan membenarkan struktur sosial, ekonomi dan politik yang ada. Kurikulum berpusat pada aliran utama berusaha mempertahankan status quo. Sedangkan perspektif dan sudut pandang multikultural akan membenarkan dan mempromosikan perubahan sosial dan rekonstruksi sosial. Ada dua sisi yang berhadapan yakni kelompok aliran utama ingin mempertahankan status quo seperti sekarang ini dan kelompok multikultural yang ingin melakukan rekonstruksi sosial.

Faktor lain yang memperlambat pelembagaan kurikulum multikultural mencakup rendahnya tingkat pengetahuan tentang budaya etnis yang dikuasai sebagian besar pendidik dan beratnya beban pelajaran yang ada pada buku teks. Pengajar harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang budaya etnis dan juga memiliki pengalaman mengintegrasikan materi, pengalaman, dan sudut pandang etnis dalam kurikulum. Pengajar menceritakan pada siswanya bahwa Columbus menemukan Amerika dan bahwa Amerika adalah suatu “dunia baru” karena mereka hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang aneka budaya Amerika Asli yang ada di Amerika selama lebih dari 40.000 tahun. Padahal bangsa Eropah baru menempati Amerika dalam jumlah yang signifikan pada abad enambelas. 

Beberapa studi telah menyatakan bahwa buku teks masih menjadi sumber utama pengajaran, khususnya mata pelajaran tertentu seperti studi sosial, membaca, dan seni bahasa. Beberapa perubahan signifikan telah dibuat dalam buku teks sejak gerakan hak-hak sipil tahun 1960-an. Banyak kelompok etnis dan wanita telah muncul dalam buku teks saat ini dibandingkan masa lampau. Namun, materi tentang kelompok etnis dalam buku teks biasanya disajikan dari perspektif aliran utama, mengandung informasi dan kepahlawanan yang diseleksi dengan menggunakan kriteria aliran utama, dan jarang terintegrasi secara konsisten dan total. Informasi seputar kelompok etnis biasanya dibahas dalam unit, topik, dan bagian teks yang khusus. Mereka mendekati pengajaran bermuatan etnis dalam cara-cara yang terpilah-pilah.

3.        Tahap – Tahap Integrasi Materi Multikultural ke dalam Kurikulum.
Sejak tahun 1960-an dapat diidentifikasi ada empat pendekatan yang mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum:
a.            Pendekatan Kontribusi ( The Contributions Appproach )
Level 1 ini adalah satu dari yang paling sering dan paling luas dipakai dalam fase pertama dari gerakan kebangkitan etnis (ethnic revival movement). Juga sering digunakan jika sekolah mencoba mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum aliran utama.

Ciri pendekatan kontribusi adalah dengan memasukkan pahlawan etnis dan benda-benda budaya yang khas ke dalam kurikulum, yang dipilih dengan menggunakan kriteria budaya aliaran utama. Jadi individu seperti Crispus Attucks, Benjamin Bannaker, Sacajawea, Booker T. Washington, dan Cesar Chavez sebagai pahlawan dari kelompok multikultural ditambahkan dalam kurikulum. Mereka dibahas saat pahlawan Amerika aliran utama seperti Patrick Henry, George Washington, Thomas Jefferson, dan John F. Kennedy dipelajari dalam kurikulum inti. Elemen budaya yang khas seperti makanan, tari, musik dan benda kelompok etnis dipelajari, namun hanya sedikitmemberi  perhatian pada makna dan pentingnya budaya khas itu bagi komunitas etnis.

Karakteristik penting dari pendekatan kontribusi adalah bahwa kurikulum aliran utama tetap tidak berubah dalam struktur dasar, tujuan, dan karakteristik. Persyaratan implementasi pendekatan ini adalah minimal yang hanya mencakup pengetahuan dasar mengenai masyarakat AS dan pengetahuan tentang pahlawan etnis dan peranan dan kontribusinya terhadap masyarakat dan budaya AS. 

Pendekatan kepahlawanan dan hari libur adalah varian dari pendekatan kontribusi. Dalam pendekatan ini, materi etnis terutama terbatas pada hari, minggu dan bulan spesial yang berhubungan dengan peristiwa dan peringatan etnis. Cinco de Mayo, HUT Martin Luther King, dan Minggu Sejarah Afrika Amerika merupakan contoh hari dan minggu etnis yang diperingati di sekolah. Selama perayaan ini, pengajar melibatkan siswa dalam pelajaran, pengalaman, dan pawai sejarah yang berkaitan dengan kelompok etnis yang sedang diperingati. Ketika pendekatan ini digunakan, kelas mempelajari sedikit atau tidak sama sekali tentang kelompok etnis sebelum atau sesudah peristiwa atau kesempatan khusus itu.

Pendekatan kontribusi memberi kesempatan pada guru untuk mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum secara cepat dengan memberi pengenalan tentang kontribusi etnis terhadap masyarakat dan budaya AS. Pengajar yang komit untuk mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang kelompok etnis dan hanya sedikit merevisi kurikulum. Akibatnya, mereka menggunakan pendekatan kontribusi saat mengajarkan tentang kelompok etnis. Guru-guru ini seharusnya mendorong, mendukung, dan memberi kesempatan untuk mempelajari pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk mereformasi kurikulumnya dengan menggunakan satu atau beberapa pendekatan yang efektif.

Pendekatan kontribusi juga merupakan pendekatan paling awal bagi pengajar untuk digunakan untuk mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum. Namun, pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan serius. Jika integrasi kurikulum dilengkapi terutama dengan memasukkan pahlawan dan kontribusi etnis, siswa tidak memperoleh pandangan global tentang peranan kelompok etnis dan budaya di masyarakat AS. Lebih dari itu, mereka melihat isu dan peristiwa etnis terutama sebagai tambahan terhadap kurikulum dan akibatnya budaya itu hanya berkedudukan sebagai tempelan terhadap sejarah utama perkembangan bangsa dan terhadap kurikulum inti dari seni bahasa, studi sosial, seni, dan bidang pelajaran yang lain.

b.            Pendekatan Aditif (Additive Approach).
Tahap kedua Pendekatan penting lain terhadap integrasi materi etnis terhadap kurikulum adalah penambahan materi, konsep, tema dan perspektif terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan dan karateristik dasarnya. Pendekatan Aditif (Tahap 2) ini sering dilengkapi dengan penambahan suatu buku, unit, atau bidang terhadap kurikulum tanpa mengubahnya secara substansial. Contoh pendekatan ini meliputi penambahan buku seperti The Color Purple pada suatu unit tentang abad duapuluh, penggunaan film Miss Jane Patman selama unit tentang 1960-an, dan penambahan tentang suatu unit pada tawanan Jepang Amerika selama studi Perang Dunia II di sebuah kelas sejarah Amerika Serikat.

Pendekatan aditif memungkinkan pengajar untuk memasukkan materi etnis ke dalam kurikulum tanpa restrukturisasi, suatu proses yang akan memakan waktu, usaha, latihan dan pemikiran kembali dari maksud, sifat dan tujuan kurikulum yang substansial. Pendekatan aditif dapat menjadi fase awal dalam upaya reformasi kurikulum transformatif yang didesain untuk menyusun kembali kurikulum total dan untuk mengintegrasikannya dengan materi, perspektif dan kerangka pikir etnis.

Yang paling penting adalah pandangan tentang materi etnis dari perspektif sejarawan, penulis, artis, dan ilmuwan aliran utama yang tidak memerlukan restrukturisasi kurikulum. Peristiwa, konsep, isu, dan masalah yang diseleksi untuk studi diseleksi dengan menggunakan kriteria dan perspektif Eurosentris dan aliran utama sentris. Jika mengajar suatu unit seperti Gerakan Barat pada kelas sejarah di AS kelas 5, guru dapat mengintegrasikan unit dengan menambahkan materi tentang Oglala Sioux Indian. Namun, unit tetap berpusat dan difokuskan pada aliran utama. Suatu unit disebut Gerakan Barat dan Eropah sentris sebagai aliran utama karena berfokus pada orang Eropah Amerika dari bagian Timur ke Barat Amerika Serikat.

Isi, materi, dan isu yang ditambahkan ke dalam kurikulum seperti embel-embel daripada bagian integral dari unit pelajaran dapat menjadi problematis. Problem mungkin muncul jika buku seperti The Color Purple atau film seperti Miss Jane Pittman ditambahkan pada unit jika siswa kekurangan konsep, latar belakang materi, dan kematangan emosional sehubungan dengan isu dan masalah dalam materi ini. Penggunaan efektif dari materi yang kompleks dan bermuatan emosi biasanya memerlukan guru yang membantu siswa mempelajari secara bertahap dan berkembang, memiliki latar belakang materi yang kuat serta memiliki kematangan sikap. Penggunaan kedua materi ini di kelas dan sekolah yang berbeda telah menimbulkan masalah utama bagi pengajar yang menggunakannya. Suatu kontroversi masyarakat timbul. Masalah berkembang karena materi digunakan pada siswa yang tidak memiliki latar belakang isi atau kepuasan sikap untuk meresponnya secara memadai. Menambahkan materi etnis ke dalam kurikulum menurut cara yang sporadis dan terpilah-piliah dapat menyebabkan masalah pedagogis, kesulitan bagi guru, kebingungan siswa, dan kontroversi masyarakat.
c.             Pendekatan Transformasi
Pendekatan transformasi (The transformation approach) berbeda secara mendasar dari pendekatan kontribusi dan aditif. Pada kedua pendekatan, materi etnis ditambahkan pada kurikukulum inti aliran utama tanpa mengubah asumsi dasar, sifat, dan strukturnya. Dalam pendekatan transformasi ada perubahan dalam tujuan, struktur, dan perspektif fundamental dari kurikulum.

Pendekatan transformasi (tahap 3) mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan kompetensi siswa dalam melihat konsep, isu, tema dan problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis. Perspektif berpusat pada aliran utama adalah hanya satu di antara beberapa perspektif darimana isu, masalah, konsep, dan isu dipandang. Tidak mungkin dan tidak inginlah untuk melihat setiap isu, konsep, peristiwa atau masalah dari sudut pandang setiap kelompok etnis AS. Lebih dari itu, tujuan seharusnya memungkinkan siswa untuk melihat konsep dan isu lebih dari satu perspektif dan melihat peristiwa, isu, atau konsep yang sedang dipelajari dari sudut pandang kelompok etnis, budaya dan ras partisipan yang paling aktif, atau berpengaruh paling meyakinkan (Banks, 1993: 203).
Isu kurikulum esensial yang terdapat dalam reformasi kurikulum multikultural bukan penambahan dari daftar panjang dari kelompok, pahlawan, atau kontribusi etnis namun pemasukan berbagai perspektif, kerangka pikir, dan materi dari berbagai kelompok yang akan memperluas pemahaman siswa akan sifat, perkembangan, dan kompleksitas masyarakat AS. Jika siswa sedang mempelajari revolusi dari koloni Inggris, perspektif dari revolusi Anglo, loyalis Anglo, Afrika Amerika, India, dan Inggris adalah esensial bagi mereka untuk memperoleh suatu pemahaman utuh tentang peristiwa yang signifikan dalam sejarah Amerika. Siswa harus mempelajari revolusi dari berbagai kelompok yang berbeda ini untuk dipahami secara utuh.

Dalam seni bahasa, jika siswa sedang mempelajari sifat bahasa Inggris Amerika, mereka seharusnya dibantu untuk memahami perbedaan bahasa dan kekayaan linguistik di Amerika Serikat dan hal-hal dari berbagai kelompok regional, kultural, dan etnis mempengaruhi perkembangan bahasa Inggris AS. Siswa seharusnya juga mengkaji bagaimana penggunaan bahasa normatif berbeda dalam konteks sosial, wilayah dan situasi. Pemakaian bahasa Inggris orang kulit hitam sesuai untuk konteks sosial dan kultural tertentu dan tidak cocok untuk yang lain. Ini juga benar bagi bahasa Inggris AS baku. Jika mempelajari musik, tari, dan sastra, guru seharusnya memperkenalkan siswa dengan bentuk-bentuk seni di antara etnis AS yang amat berpengaruh dan memperkaya tradisi seni dan sastra negara ini.

Jika mempelajari sejarah, bahasa, musik, seni, sains, dan matematika AS, penekanan seharusnya bukan pada cara-cara di mana berbagai kelompok etnis dan budaya itu telah berkontribusi pada aliran utama budaya dan masyarakat AS. Lebih dari itu, penekanan seharusnya pada bagaimana budaya dan masyarakat AS pada umumnya muncul dari sintesis dan interaksi kompleks dari elemen budaya yang berbeda yang asalnya dari berbagai kelompok budaya, ras, etnis, dan agama yang membentuk masayarakat Amerika. Banks menyebut proses ini multiple acculturation dan berpendapat bahwa sekalipun Anglo-Saxon Protestan adalah kelompok dominan di Amerika Serikat secara kultural, politis, dan ekonomis, akan terjadi salah pengertian dan tidak akuratlah untuk menggambarkan budaya dan masyarakat AS sebagai budaya Anglo-Saxon Protestan.

Konsepsi akulturasi ganda (a multiple acculturation conception) dari masyarakat dan budaya AS mengarah pada perspektif bahwa memandang peristiwa etnis, sastra, musik, dan seni sebagai bagian integral dari yang membentuk budaya AS secara umum. Budaya WASP hanya dipandang sebagai bagian dari keseluruhan budaya yang lebih besar. Jadi mengajari sastra Amerika tanpa melibatkan penulis kulit berwarna yang signifikan memberikan pandangan yang parsial dan tidak lengkap tentang sastra, budaya, dan masyarakat AS.

d.             Pendekatan Aksi Sosial
Pendekatan Aksi Sosial (the Social Action Approach) mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi namun menambahkan komponen yang mempersyaratkan siswa membuat keputusan dan melakukan aksi yang berkaitan dengan konsep, isu, atau masalah yang dipelajari dalam unit. Tujuan utama dari pengajaran dalam pendekatan ini adalah mendidik siswa melakukan untuk kritik sosial dan perubahan sosial dan mengajari mereka ketrampilan pembuatan keputusan. Untuk memperkuat siswa dan membantu mereka memperoleh kemanjuran politis, sekolah seharusnya membantunya menjadi kritikus sosial yang reflektif dan partisipan yang terlatih dalam perubahan sosial. Tujuan tradisional dari persekolahan yang telah ada adalah untuk mensosialisasi siswa sehingga mereka menerima tanpa bertanya ideologi, lembaga, dan praktek yang ada dalam masyarakat dan negara.



D.    BAHAN DISKUSI
1.      Dari berbagai pendekatan terhadapPendidikan Multikultural yang telah dijabarkan, diskusikan dengan kelompok bagaimana Kurikulum yang berpusat pada paham budaya utama.
2.      Dari berbagai pendekatan terhadapPendidikan Multikultural yang telah dijabarkan, diskusikan dengan kelompok bagaimana upaya menyusun kurikulum multikultural.
3.      Dari berbagai pendekatan terhadapPendidikan Multikultural yang telah dijabarkan, diskusikan dengan kelompok bagaimana tahap – tahap integrasi materi Multikultural ke dalam kurikulum.

E.     SUMBER PUSTAKA

Kareba. 2012, Teori dan Pendekatan Multikultural. Diakses 10 September 2015 dari http://kareba-toraja.blogspot.co.id/2012/11/teori-dan-pendekatan-pendidikan.html
Pendidikan Multikultural. 2009, Pendidikan Multikultural. Diakses 10 September 2015 dari http://rifkiarifatul.blogspot.co.id/2009/12/pendidikan-multikultural.html
Putrimayseri. 2012. Teori Pendidikan Multikultural. Diakses 10 September 2015 dari https://putrimayseri.wordpress.com/2012/11/30/4/
Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;