BAB VIII
PENYAKIT BUDAYA, PRASANGKA, STEROTIPE, ETNOSENTRISME,
RASISME, DISKRIMINASI, SCAPEGOATING
A.
Penyakit Budaya Prasangka, Sterotipe, Etnosentrisme,
Rasisme, Diskriminasi, Scapegoating.
Sub Pokok Bahasan :
1.
Prasangka
2.
Sterotipe
3.
Etnosentrisme
4.
Rasisme
5.
Diskriminasi
6.
Scapegoating
B.
Tujuan :
Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa harus
dapat :
1.
Menjelaskan arti prasangka
2.
Memahami arti sterotipe
3.
Memahami definisi dari
etnosentrisme
4.
Memahami definisi dari
rasisime
5.
Memahami definisi dari
Diskriminasi
6.
Memahami definisi dari
scapegoating
C.
Pembahasan
Konflik
bukan untuk dimusuhi, tapi dikelola secara arif dan bijaksana. Masing-masing
individu yang terlibat dalam konflik perlu menjernihkan pikiran dan hati dari
prasangka, stereotipe, etnosentrisme, rasisme dan diskriminasi dan scape
goating terhadap pihak lain. Karena pemahaman terhadap adanya penyakit budaya
tersebut merupakan kunci utama dalam proses resolusi dan manajemen konflik.
Negara ini membutuhkan solusi yang memuaskan dalam menghadapi ancaman konflik
dan separatisme di daerah-daerah yang lebih sering disebabkan oleh tumbuh
berkembangnya berbagai penyakit budaya seperti prasangka, stereotipe,
etnosentrisme, rasisme dan diskriminasi ini.
1. Prasangka
Definisi klasik prasangka pertama
kali dikemukakan oleh psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport yang
menulis konsep itu dalam bukunya, The Nature of Predujice pada tahun 1954.
Istilah berasal dari praejudicium, yakni pernyataan atau kesimpulan tentang
sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhada orang atau
kelompok tertentu.
Menurut Allport, “prasangka
adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes. Antipati
itu dirasakan atau dinyatakan. Allport memang sangat menekankan antipati bukan
sekedar pribadi tetapi antipati kelompok.
Johnson (1986) mengatakan
prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotipe
kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinan untuk
menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai
yang kita berikan.
Menurut johnson (1981) prasangka
adalah sikap intipati berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan
tidak fleksibel. Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada
seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompoknya sendiri.
Jadi prasangka merupakan salah
satu rintangan atau hambatan bagi kegiatan komunikasi karena orang yan
berprasangka sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan
komunikasi.
Sekarang pengertian prasangka
lebih diarahkan pada pandangan emosional dan negatif terhadap sesorang atau
sekolompok orang dibandingkan dengan kelompok sendiri.
Definisi Allport disanggah oleh
psikolog Theodore Adorno. Adorno yang menciptakan teori pribadi otoriter
mengemukakan melalui riset atas pola rasisme yang dilakukan di wilayah selata
AS. Ia menemukan bahwa pola-pola rasisme muncul dari kepribadian otoriter. Jadi
pada dasarnya prasangka merupakan salah satu tipe kepribadian. Dengan demikian
kita tidak perlu mempermasalahkan tindakan rasisme karena tindakan itu muncul
dari pribadi berprasangka yang diwarisi dari proses sosialisasi.
Dari beberapa pengertian yang
dikemukakan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa prasangka merupakan sikap,
pengertian, keyakinan dan bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada dipikiran,
sedangka diskriminasi mengarah ke tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah
menjadi tindakan nyata maka pasangka berubah menjadi diskriminasi yaitu
tindakan menyingkirkan status dan peranan seseorang dari hubungan, pergaulan,
dan komunikasi antar manusia. Secara umum kita dapat melihat prasangka
mengandung tipe afektif (berkaitan dengan perasaan negatif), kognitif (selalu
berpkir sesuatu stereotipe), dan konasi (kecenderungan berperilaku
diskriminatif).
Prasangka didasarkan atas sebab-sebab seperti :
- Generalisasi yang keliru pada perasaan
- Stereotipe antar etnik
- Kesadaran “in group” dan “out group” yaitu kesadaran akan ras “mereka”
sebagai kelompok lain yang berbeda
latar belakang kebudayaan dengan “ kami”.
2. Sterotipe
Stereotipe merupakan salah satu bentuk prasangka antar etnik/ras.
Orang cenderung membuat kategori atas tampilan karakteristik perilaku orang
lain berdasarkan kategori ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan tampilan
komunikasi verbal maupun non verbal selain
itu juga, merupakan salah satu bentuk utama prasangka
yang menunjukan perbedaan “kami” yang selalu dikaitkan dengan superioritas
kelompok “kami” dan cenderung mengevaluasi orang lain yng dipandang inferior
“mereka”.
Stereotipe adalah pemberian sifat
tertentu terhadap sesorang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif hanya
karena dia berasal dari kelompok lain. Pemberian sifat tersebut bisa positif
maupun negatif.
Vedeber (1986) menyatakan bahwa
stereotipe adalah sikap juga karakter yang dimiliki sesorang dalam menilai
karakteristik, sifat negatif, maupun positif orang lain, hanya berdasarkan
keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu.
Allan G. Johson (1986) stereotipe
adalah keyakinan sesorang dalam menggeneralisasikan sifat-sifat tertentuyang
cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan
pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbukan penilaian yang cenderung negatif
bahkan merendahkan orang lain. Ada kecenderungan memberikan “label” atau cap
tertetu pada kelompok tertentu dan yang termasuk problem yang perlu diatasi
adalah stereotipe yang negatif atau merendahkan kelompok lain.
Di dalam menghadapi fenomena
budaya yang ada di tanah air ini, kita perlu memberi informasi yang benar
tentang berbagi hal yang berkaitan dengan ras, suku, agama, dan antar agama.
Seringkali, keberadaan individu dalam suatu kelompok telah dikategorisasi.
Miles Hewstone dan Rupert Brown
(1986) mengemukakan tiga aspek esensial dari stereotipe yaitu :
1. Karakter atau sifat tertentu
yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan berperilaku, gender dan etnis.
Misalnya, wanita periang itu suka bersolek.
2. Bentuk atau sifat perilaku
turun menurun sehingga seolah-olah melekat pada semua anggota kelompok.
Misalnya, oran ambon itu keras.
3. Penggeneralisasian
karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompik kepada individu yang
menjadi anggota kelompok tersebut.
Tajfel (1981) membedakan bentuk atau jenis stereotipe yaitu :
1. Stereotipe individu adalah
generalisasi yang dilakukan oleh individu dengan menggeneralisasi karakteristik
orang lain dengan ukurang luas dan jarak tertentu melalui proses kategori yang
bersifat kognitif (berdasarkan penglaman individu).
2. Stereotipe sosial terjadi jika
stereotipe itu menjadi evaluasi kelompok tertentu, telah menyebar dan meluas
pada kelompok sosial lain.
Stereotipe itu bersifat unik dan
berdasarkan pengalaman individu, namun kadang merupakan hasil pengalam dan
pergaulan dengan orang lain maupun dengan anggota kelompok itu sendiri. Adakah
hubungan antara stereotipe dengan komunikasi
Hewstone dan Giles (1986)
mengajukan empat kesimpulan tentang proses stereotipe :
a.
Proses stereotipe merupakan hasil
dari kecenderungan mengantisipasi atau mengharapkan kualitas derajat hubungan
tertentu antara anggota kelompok tentu berdasarkan sifat psikologis yang
dimliki.
b.
Sumber dan sasaran informasi
mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan.
Stereotipe berpengaruh terhadap porses informasi individu.
c.
Stereotipe menciptakan harapan
pada anggota kelompok tertentu (in group) dan kelompok lain (out group).
d.
Stereotipe menghambat pola
perilaku komunikasi kita dengan orang lain.
3.
Entosentrisme
Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan
nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri. Etnosentrisme
merupakan paham-paham yang pertama kali diperkenalkan oleh William Graham
Sumner (1906), seorang antropolog yang beraliran interaksionisme. Berpandangna
bahwa manusia pada dasarnya individualistis yag cenderung mementingkan diri
sendiri, namun karena harus berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah
sifat antagonistik. Supaya pertentangan itu dapat dicegah maka perlu ada
folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu. Mereka yang
memiliki folkways yang sama cenderung berkelompok dalam satu kelompok yang
disebut etnis.
Sebab-sebab Munculnya Etnosentrisme di Indonesia. Salah
satu faktor yang mendasar yang menjadi penyebab munculnya etnosentrisme di
Bangsa ini adalah budaya politik masyarakat yang cenderung tradisional dan
tidak rasionalis. Budaya politik masyarakat kita masih tergolong budaya politik
subjektif Ikatan emosional –dan juga ikatan-ikatan primordial- masih cenderung
menguasai masyarakat kita. Masyarakat kita terlibat dalam dunia politik dalam
kerangka kepentingan mereka yang masih mementingkan suku, etnis, agama dan
lain-lain. Aspek kognitif dan partisipatif masih jauh dari masyarakat kita.
Salah satu faktor yang juga menjadi penyebab munculnya masalah etnosentrisme
adalah pluralitas Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan golongan. Pluralitas masyarakat
Indonesia ini tentu melahirkan berbagai persoalan. Setiap suku, agama, ras dan
golongan berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan menguasai yang
lain.Pertarungan kepentingan inilah yang sering memunculkan persoalan-persoalan
di daerah.
Contoh Etnosentrisme di Indonesia. Salah
satu contoh etnosentrisme di Indonesia adalah perilaku carok dalam masyarakat
Madura. Menurut Latief Wiyata, carok adalah tindakan atau upaya pembunuhan yang
dilakukan oleh seorang laki-laki apabila harga dirinya merasa terusik. Secara
sepintas, konsep carok dianggap sebagai perilaku yang brutal dan tidak masuk
akal. Hal itu terjadi apabila konsep carok dinilai dengan pandangan kebudayaan
kelompok masyarakat lain yang beranggapan bahwa menyelesaikan masalah dengan
menggunakan kekerasan dianggap tidak masuk akal dan tidak manusiawi. Namun,
bagi masyarakat Madura, harga diri merupakan konsep yang sakral dan harus
selalu dijunjung tinggi dalam masyarakat. Oleh karena itu, terjadi perbedaan
penafsiran mengenai masalah carok antara masyarakat Madura dan kelompok
masyarakat lainnya karena tidak adanya pemahaman atas konteks sosial budaya
terjadinya perilaku carok tersebut dalam masyarakat Madura. Contoh
etnosentrisme dalam menilai secara negatif konteks sosial budaya terjadinya
perilaku carok dalam masyarakat Madura tersebut telah banyak ditentang oleh
para ahli ilmu sosial.
4.
Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa
prancis dan itali “razza” pertama kali istilah ras dikenalkan Franqois Bernier,
antropolog perancis, untuk mengemukakan gagasan tentang perbedaa manusia
berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah
itu, orang lalu menetapkan hirarki manusia berdasarkan karakteristik fisik atas
orang eropa berkulit putih yang diasumsikan sebagai warga masyarakat kelas atas
berlawanan dengan orang afrika yang berkulit hitam sebagai warga kelas dua.
Ras sebagai konsep secara ilmiah
digunakan bagi “penggolongan manusia” oleh Bufon, anthorpolog perancis, untuk
menerangkan penduduk berdasarkan pembedaan biologis sebagai parameter. Pada
abad 19, para ahli biologis membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok, yaitu
kaukasoid, negroid dan mongoloid. Hasil penilitian menunjukan bahawa tidak ada
ras yang benar-benar murni lagi. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan
dengan pemberian karakteristik seseorang atau sekelompok orang ke dalam satu
kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik seperti warna
kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah. Pembedaan seperti itu hanya
mewakili faktor tampilan luar.
Karena tidak ada ras yang
benar-benar murni, maka konsep tentang ras seringkali merupakan kategori yang
bersifat non- biologis. Ras hanya merupakan konstruksi ideologi yang
menggambarkan gagasan rasis.
Secara kultur Carus menghubungkan ciri ras dengan kondisi
kultur. Ada empat jenis ras yaitu : afrika, mongol, dan amerika yang berturut-turut
mencerminkan siang hari (terang), malam hari (gelap), cerah pagi (kuning), dan
sore (senja) yang merah.
Namun konsep ras yang kita kenal
lebih mengarah pada konsep kultur dan merupakan kategori sosial, bukan
biologis. Montagu, membedakan antara “ide sosial dari ras” dan “ide biologis
dari ras”. Definisi sosial berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial.
5.
Diskriminasi
Diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak
seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok (Sears,
Freedman & Peplau,1999). Misalnya banyak perusahaan yang menolak
mempekerjakan karyawan dari etnik tertentu. Diskriminasi bisa terjadi tanpa
adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang berprasangka juga belum tentu
akan mendiskriminasikan (Duffy & Wong, 1996). Akan tetapi selalu terjadi
kecenderungan kuat prasangka melahirkan diskriminasi. Prasangka menjadi sebab
diskriminasi manakala digunakan sebagai rasionalisasi diskriminasi. Artinya
prasangka yang dimiliki terhadap kelompok tertentu menjadi alasan untuk
mendiskriminasikan kelompok tersebut.
Prasangka menunjukkan pada aspek sikap sedangkan
diskriminasi pada tindakan. Dengan demikian diskriminatif merupakan tindakan
yang relaistis, sedangkan prsangka tidak realistis dan hanya diketahui oleh
diri individu masing-masing. Diskriminasi menunjukkan pada suatu tindakan.
Dalam pergaulan sehari-hari sikap prasangka dan diskriminasi seolah-olah
menyatu, tak dapat dipisahkan.Seseorang yang mempunyai prasangka rasial,
biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya.
Demikian juga sebaliknya seseorang yang
berprasangka dapat saja bertindak tidak diskriminatif. Diskriminasi merupakan
suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan
karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Sedangkan diskriminasi menurut Theodorson &
Theodorson, diskriminasi adalah ketidak seimbangan atau ketidak adilan yang
ditujukan oleh orang atau kelompok lain yang biasanya bersifat kategorikal,
atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesuku bangsaan, agama,
atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Diskriminasi bersifat aktif dari prasangka
yang bersifat negatif (negative prejudice) terhadap seorang individu atau suatu
kelompok.
Jika prasangka mencakup sikap dan
keyakinan, maka diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi
biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan
tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan atau hukum. Antara
prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan, selama ada
prasangka, disana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan
atau ideologi, maka diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi
diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari
kelompok dominan terhadap kelompok subordinasi.
6.
Scapegoating
Teori kambing hitam mengemukakan
kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka
perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi depresi
ekonomi di jerman, Hitler mengkambing hitamkan orang yahudi sebagai penyebab
rusaknya sistim politik dan ekonomi di negara itu. Ada satu pabrik di auscwitz,
polandia yang digunakan untuk membantai hampir 1,5 juta orang yahudi. Tua muda,
besar kecil laki-laki dan perempuan dikumpulkan. Kepala digunduli dan rambut
yang dikumpulkan mencapai hampir 1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu akan
dikirimkan ke jerman untuk dibuat kain. Richard Chamberlain berteori bahwa
bangsa aria adalah bangsa yang besar dan mulia yang mempunyai misi suci untuk
membudayakan umat manusia. Bangsa aria (jerman) ini merasa bahwa kekacauan
ekonomi dan politik di jerman disebabkan oleh bagsa yahudi.
BAHAN DISKUSI
1.
Keragaman
menjadi modal sekaligus potensi politik. Keragaman budaya daerah dapat
memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal membangun Indonesia yang
multikultural. Namun kondisi budaya itu juga sangat
berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan social. apa sajakah yang dapat dilakukan agar
kondisi budaya yang beragam tidak menimbulkan perpecahan?
2.
Kita
telah mengetahui bahwa scapegoating adalah sikap atau perilaku menyalahkan
orang lain. Padahal kesalahan yang diperbuat oleh seseorang adalah hal yang
wajar. Lalu mengapa budaya scapegoating masih terus terjadi,apakah penyebabnya?
3.
Bagaimanakah
cara mengurangi prasangka yang biasa timbul di masyarakat?
DAFTAR PUSTAKA
Putri, Sari. 2013. Penyakit
budaya, prasangka, entosentrisme,diskriminasi, online (http://sarydamy.blogspot.co.id/2013/02/pendidikan-multikultural.html) diakses pada 10 September 2015
http://ikappsj.blogspot.co.id/2011/08/bahan-makalah-prasangka-dan.html diakses pada 10 September 2015
http://educloud.fkip.unila.ac.id/index.php?dir=Ilmu%20Pendidikan/Pendidikan%20Guru%20Sekolah%20Dasar/Pendidikan%20Multikultural/&file=Multikultural_UNIT%204.pdf diakses pada 15 September 2015
Sutarno. 2008. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendiidkn Nasional
0 komentar:
Posting Komentar