Senin, 09 Mei 2016

Penyakit Budaya, Prasangka, Sterotipe, Etnosentrisme, Rasisme, Diskriminasi, Scapegoating



 BAB VIII
PENYAKIT BUDAYA, PRASANGKA, STEROTIPE, ETNOSENTRISME, RASISME, DISKRIMINASI, SCAPEGOATING

A.   Penyakit Budaya Prasangka, Sterotipe, Etnosentrisme, Rasisme, Diskriminasi, Scapegoating.
Sub Pokok Bahasan :
1.      Prasangka
2.      Sterotipe
3.      Etnosentrisme
4.      Rasisme
5.      Diskriminasi
6.      Scapegoating
B.     Tujuan :
Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa harus dapat :
1.             Menjelaskan arti prasangka
2.             Memahami arti sterotipe
3.             Memahami definisi dari etnosentrisme
4.             Memahami definisi dari rasisime
5.             Memahami definisi dari Diskriminasi
6.             Memahami definisi dari scapegoating
C.    Pembahasan
Konflik bukan untuk dimusuhi, tapi dikelola secara arif dan bijaksana. Masing-masing individu yang terlibat dalam konflik perlu menjernihkan pikiran dan hati dari prasangka, stereotipe, etnosentrisme, rasisme dan diskriminasi dan scape goating terhadap pihak lain. Karena pemahaman terhadap adanya penyakit budaya tersebut merupakan kunci utama dalam proses resolusi dan manajemen konflik. Negara ini membutuhkan solusi yang memuaskan dalam menghadapi ancaman konflik dan separatisme di daerah-daerah yang lebih sering disebabkan oleh tumbuh berkembangnya berbagai penyakit budaya seperti prasangka, stereotipe, etnosentrisme, rasisme dan diskriminasi ini.

1.      Prasangka
Definisi klasik prasangka pertama kali dikemukakan oleh psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport yang menulis konsep itu dalam bukunya, The Nature of Predujice pada tahun 1954. Istilah berasal dari praejudicium, yakni pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhada orang atau kelompok tertentu.
Menurut Allport, “prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes. Antipati itu dirasakan atau dinyatakan. Allport memang sangat menekankan antipati bukan sekedar pribadi tetapi antipati kelompok.
Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotipe kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan.
Menurut johnson (1981) prasangka adalah sikap intipati berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompoknya sendiri.
Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan bagi kegiatan komunikasi karena orang yan berprasangka sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi.
Sekarang pengertian prasangka lebih diarahkan pada pandangan emosional dan negatif terhadap sesorang atau sekolompok orang dibandingkan dengan kelompok sendiri.
Definisi Allport disanggah oleh psikolog Theodore Adorno. Adorno yang menciptakan teori pribadi otoriter mengemukakan melalui riset atas pola rasisme yang dilakukan di wilayah selata AS. Ia menemukan bahwa pola-pola rasisme muncul dari kepribadian otoriter. Jadi pada dasarnya prasangka merupakan salah satu tipe kepribadian. Dengan demikian kita tidak perlu mempermasalahkan tindakan rasisme karena tindakan itu muncul dari pribadi berprasangka yang diwarisi dari proses sosialisasi.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa prasangka merupakan sikap, pengertian, keyakinan dan bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada dipikiran, sedangka diskriminasi mengarah ke tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi tindakan nyata maka pasangka berubah menjadi diskriminasi yaitu tindakan menyingkirkan status dan peranan seseorang dari hubungan, pergaulan, dan komunikasi antar manusia. Secara umum kita dapat melihat prasangka mengandung tipe afektif (berkaitan dengan perasaan negatif), kognitif (selalu berpkir sesuatu stereotipe), dan konasi (kecenderungan berperilaku diskriminatif).
Prasangka didasarkan atas sebab-sebab seperti :
- Generalisasi yang keliru pada perasaan
- Stereotipe antar etnik
- Kesadaran “in group” dan “out group” yaitu kesadaran akan ras “mereka” sebagai     kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan dengan “ kami”.

2.      Sterotipe
Stereotipe merupakan salah satu bentuk prasangka antar etnik/ras. Orang cenderung membuat kategori atas tampilan karakteristik perilaku orang lain berdasarkan kategori ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan tampilan komunikasi verbal maupun non verbal selain itu juga, merupakan salah satu bentuk utama prasangka yang menunjukan perbedaan “kami” yang selalu dikaitkan dengan superioritas kelompok “kami” dan cenderung mengevaluasi orang lain yng dipandang inferior “mereka”.
Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap sesorang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif hanya karena dia berasal dari kelompok lain. Pemberian sifat tersebut bisa positif maupun negatif.
Vedeber (1986) menyatakan bahwa stereotipe adalah sikap juga karakter yang dimiliki sesorang dalam menilai karakteristik, sifat negatif, maupun positif orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu.
Allan G. Johson (1986) stereotipe adalah keyakinan sesorang dalam menggeneralisasikan sifat-sifat tertentuyang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbukan penilaian yang cenderung negatif bahkan merendahkan orang lain. Ada kecenderungan memberikan “label” atau cap tertetu pada kelompok tertentu dan yang termasuk problem yang perlu diatasi adalah stereotipe yang negatif atau merendahkan kelompok lain.
Di dalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah air ini, kita perlu memberi informasi yang benar tentang berbagi hal yang berkaitan dengan ras, suku, agama, dan antar agama. Seringkali, keberadaan individu dalam suatu kelompok telah dikategorisasi.

Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986) mengemukakan tiga aspek esensial dari stereotipe yaitu :
1. Karakter atau sifat tertentu yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan berperilaku, gender dan etnis. Misalnya, wanita periang itu suka bersolek.
2. Bentuk atau sifat perilaku turun menurun sehingga seolah-olah melekat pada semua anggota kelompok. Misalnya, oran ambon itu keras.
3. Penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompik kepada individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.

Tajfel (1981) membedakan bentuk atau jenis stereotipe yaitu :
1. Stereotipe individu adalah generalisasi yang dilakukan oleh individu dengan menggeneralisasi karakteristik orang lain dengan ukurang luas dan jarak tertentu melalui proses kategori yang bersifat kognitif (berdasarkan penglaman individu).
2. Stereotipe sosial terjadi jika stereotipe itu menjadi evaluasi kelompok tertentu, telah menyebar dan meluas pada kelompok sosial lain.
Stereotipe itu bersifat unik dan berdasarkan pengalaman individu, namun kadang merupakan hasil pengalam dan pergaulan dengan orang lain maupun dengan anggota kelompok itu sendiri. Adakah hubungan antara stereotipe dengan komunikasi
Hewstone dan Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses stereotipe :
a.         Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tentu berdasarkan sifat psikologis yang dimliki.
b.         Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap porses informasi individu.
c.         Stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in group) dan kelompok lain (out group).
d.        Stereotipe menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain.




3.      Entosentrisme
Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri. Etnosentrisme merupakan paham-paham yang pertama kali diperkenalkan oleh William Graham Sumner (1906), seorang antropolog yang beraliran interaksionisme. Berpandangna bahwa manusia pada dasarnya individualistis yag cenderung mementingkan diri sendiri, namun karena harus berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat antagonistik. Supaya pertentangan itu dapat dicegah maka perlu ada folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu. Mereka yang memiliki folkways yang sama cenderung berkelompok dalam satu kelompok yang disebut etnis.
Sebab-sebab Munculnya Etnosentrisme di Indonesia. Salah satu faktor yang mendasar yang menjadi penyebab munculnya etnosentrisme di Bangsa ini adalah budaya politik masyarakat yang cenderung tradisional dan tidak rasionalis. Budaya politik masyarakat kita masih tergolong budaya politik subjektif Ikatan emosional –dan juga ikatan-ikatan primordial- masih cenderung menguasai masyarakat kita. Masyarakat kita terlibat dalam dunia politik dalam kerangka kepentingan mereka yang masih mementingkan suku, etnis, agama dan lain-lain. Aspek kognitif dan partisipatif masih jauh dari masyarakat kita.
Salah satu faktor yang juga menjadi penyebab munculnya masalah etnosentrisme adalah pluralitas Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan golongan. Pluralitas masyarakat Indonesia ini tentu melahirkan berbagai persoalan. Setiap suku, agama, ras dan golongan berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan menguasai yang lain.Pertarungan kepentingan inilah yang sering memunculkan persoalan-persoalan di daerah.
Contoh Etnosentrisme di Indonesia. Salah satu contoh etnosentrisme di Indonesia adalah perilaku carok dalam masyarakat Madura. Menurut Latief Wiyata, carok adalah tindakan atau upaya pembunuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki apabila harga dirinya merasa terusik. Secara sepintas, konsep carok dianggap sebagai perilaku yang brutal dan tidak masuk akal. Hal itu terjadi apabila konsep carok dinilai dengan pandangan kebudayaan kelompok masyarakat lain yang beranggapan bahwa menyelesaikan masalah dengan menggunakan kekerasan dianggap tidak masuk akal dan tidak manusiawi. Namun, bagi masyarakat Madura, harga diri merupakan konsep yang sakral dan harus selalu dijunjung tinggi dalam masyarakat. Oleh karena itu, terjadi perbedaan penafsiran mengenai masalah carok antara masyarakat Madura dan kelompok masyarakat lainnya karena tidak adanya pemahaman atas konteks sosial budaya terjadinya perilaku carok tersebut dalam masyarakat Madura. Contoh etnosentrisme dalam menilai secara negatif konteks sosial budaya terjadinya perilaku carok dalam masyarakat Madura tersebut telah banyak ditentang oleh para ahli ilmu sosial.
4.      Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa prancis dan itali “razza” pertama kali istilah ras dikenalkan Franqois Bernier, antropolog perancis, untuk mengemukakan gagasan tentang perbedaa manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hirarki manusia berdasarkan karakteristik fisik atas orang eropa berkulit putih yang diasumsikan sebagai warga masyarakat kelas atas berlawanan dengan orang afrika yang berkulit hitam sebagai warga kelas dua.
Ras sebagai konsep secara ilmiah digunakan bagi “penggolongan manusia” oleh Bufon, anthorpolog perancis, untuk menerangkan penduduk berdasarkan pembedaan biologis sebagai parameter. Pada abad 19, para ahli biologis membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok, yaitu kaukasoid, negroid dan mongoloid. Hasil penilitian menunjukan bahawa tidak ada ras yang benar-benar murni lagi. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karakteristik seseorang atau sekelompok orang ke dalam satu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah. Pembedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar.
Karena tidak ada ras yang benar-benar murni, maka konsep tentang ras seringkali merupakan kategori yang bersifat non- biologis. Ras hanya merupakan konstruksi ideologi yang menggambarkan gagasan rasis.
Secara kultur  Carus menghubungkan ciri ras dengan kondisi kultur. Ada empat jenis ras yaitu : afrika, mongol, dan amerika yang berturut-turut mencerminkan siang hari (terang), malam hari (gelap), cerah pagi (kuning), dan sore (senja) yang merah.
Namun konsep ras yang kita kenal lebih mengarah pada konsep kultur dan merupakan kategori sosial, bukan biologis. Montagu, membedakan antara “ide sosial dari ras” dan “ide biologis dari ras”. Definisi sosial berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial.

5.      Diskriminasi
Diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok (Sears, Freedman & Peplau,1999). Misalnya banyak perusahaan yang menolak mempekerjakan karyawan dari etnik tertentu. Diskriminasi bisa terjadi tanpa adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang berprasangka juga belum tentu akan mendiskriminasikan (Duffy & Wong, 1996). Akan tetapi selalu terjadi kecenderungan kuat prasangka melahirkan diskriminasi. Prasangka menjadi sebab diskriminasi manakala digunakan sebagai rasionalisasi diskriminasi. Artinya prasangka yang dimiliki terhadap kelompok tertentu menjadi alasan untuk mendiskriminasikan kelompok tersebut.
Prasangka menunjukkan pada aspek sikap sedangkan diskriminasi pada tindakan. Dengan demikian diskriminatif merupakan tindakan yang relaistis, sedangkan prsangka tidak realistis dan hanya diketahui oleh diri individu masing-masing. Diskriminasi menunjukkan pada suatu tindakan. Dalam pergaulan sehari-hari sikap prasangka dan diskriminasi seolah-olah menyatu, tak dapat dipisahkan.Seseorang yang mempunyai prasangka rasial, biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya.
Demikian juga sebaliknya seseorang yang berprasangka dapat saja bertindak tidak diskriminatif. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Sedangkan diskriminasi menurut Theodorson & Theodorson, diskriminasi adalah ketidak seimbangan atau ketidak adilan yang ditujukan oleh orang atau kelompok lain yang biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesuku bangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Diskriminasi bersifat aktif dari prasangka yang bersifat negatif (negative prejudice) terhadap seorang individu atau suatu kelompok.
Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan atau hukum. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan, selama ada prasangka, disana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi, maka diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasi.
6.      Scapegoating
Teori kambing hitam mengemukakan kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi depresi ekonomi di jerman, Hitler mengkambing hitamkan orang yahudi sebagai penyebab rusaknya sistim politik dan ekonomi di negara itu. Ada satu pabrik di auscwitz, polandia yang digunakan untuk membantai hampir 1,5 juta orang yahudi. Tua muda, besar kecil laki-laki dan perempuan dikumpulkan. Kepala digunduli dan rambut yang dikumpulkan mencapai hampir 1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu akan dikirimkan ke jerman untuk dibuat kain. Richard Chamberlain berteori bahwa bangsa aria adalah bangsa yang besar dan mulia yang mempunyai misi suci untuk membudayakan umat manusia. Bangsa aria (jerman) ini merasa bahwa kekacauan ekonomi dan politik di jerman disebabkan oleh bagsa yahudi.



BAHAN DISKUSI
1.         Keragaman menjadi modal sekaligus potensi politik. Keragaman budaya daerah dapat memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi budaya itu juga sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan social. apa sajakah yang dapat dilakukan agar kondisi budaya yang beragam tidak menimbulkan perpecahan?
2.         Kita telah mengetahui bahwa scapegoating adalah sikap atau perilaku menyalahkan orang lain. Padahal kesalahan yang diperbuat oleh seseorang adalah hal yang wajar. Lalu mengapa budaya scapegoating masih terus terjadi,apakah penyebabnya?
3.         Bagaimanakah cara mengurangi prasangka yang biasa timbul di masyarakat?







DAFTAR PUSTAKA
Putri, Sari. 2013. Penyakit budaya, prasangka, entosentrisme,diskriminasi, online (http://sarydamy.blogspot.co.id/2013/02/pendidikan-multikultural.html) diakses pada 10 September 2015
Sutarno. 2008. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendiidkn Nasional


0 komentar:

Posting Komentar

 
;