BAB IV
TEORI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DAN PENDEKATAN TERHADAP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
A. SUB
POKOK BAHASAN
1. Teori Pendidikan Multikultural menurut Horace
Kallen.
2. Tiga kelompok budaya di Amerika menurut James
A. Banks.
3. Pandangan Bill Martin mengenai Pendidikan
Multikultural.
4. Pendekatan terhadap
Pendidikan Multikultural
B. TUJUAN
1. Mahasiswa diharuskan mampu memahami teori
Pendidikan Multikultural menurut Horace Kallen.
2. Mahasiswa diharuskan mampu memahami tiga
kelompok budaya di Amerika menurut James A. Banks.
3. Mahasiswa diharuskan mampu memahami teori
Pendidikan Multikultural menurut Bill Martin.
4. Mahasiswa diharuskan mampu memahami teori
Pendidikan Multikultural menurut Martin J. Back.
5. Mahasiswa diharuskan mampu memahami Pendekatan terhadap
Pendidikan Multikultural
C. PEMBAHASAN
I.
Teori Pendidikan Multikultural
1. Teori Pendidikan Multikultural menurut Horace
Kallen
Horace Kallen adalah perintis teori
multicultural. Budaya disebut pluralism budaya (cultural pluralism) Jika budaya
suatu Bangsa memiliki banyak segi dan nilai-nilai. Pluralisme budaya
didefinisikan oleh Horece Kallen sebagai “menghargai berbagai tingkat perbedaan
dalam batas-batas persatuan nasional”. Sebagai budaya yang dominan, White
Anglo-Saxon protestan harus diakui masyarakat, Sedangkan budaya yang lain itu
dipandang vareasi dan dipandang kebudayaan Amerika.
Jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi,
nilai-nilai dan lain-lain; budaya itu dapat disebut pluralisme budaya (cultural
pluralism). Teori pluralisme budaya ini dikembangkan oleh Horace Kallen.
Ia menggambarkan pluralisme budaya itu dengan definisi operasional sebagai
menghargai berbagai tingkat perbedaaan, tetapi masih dalam batas-batas menjaga
persatuan nasional. Kellen mencoba mengekspresikan bahwa masing-masing kelompok
etnis dan budaya di Amerika Serikat itu penting dan masing-masing mengontribusi
unik menaambah variasi dan kekayaan budaya, misalnya bangsa Amerika Serikat.
Teori Kellen mengakui bahwa budaya yang dominan harus juga diakui oleh
masyarakatnya sendiri. Dalam konteks ini kellen tetap mengakui bahwa budaya
Wasp di Amerika Serikat sebagai budaya yang dominan, sementara budaya-budaya
yang lain dipandang menambah variasi dan kekayaan budaya Amerika.
2. Tiga kelompok budaya di Amerika menurut James
A. Banks
James A. Banks
dikenal sebagai perintis pendidikan multikltural . Banks yakni bahwa pendidikan
seharusnya lebih megarh pada mengajarimereka bagaimana berfikir dari pada apa
yang dapikirkan. Siswa perlu disadarkan bahwa didalam pengetahuan ang ia terima
itu terdapat beraneka ragam interpretasi sesuai epentingan masin-masing. Siswa
perlu diajarkan dalam menginterpretasi sejarah masalalu dan dalam perubahan
sejarah. Siswa hrus berpikir kritis dengan member pengetahuan dan ketrampilan
yang memadai dan memiliki komitmen yang tinggi untuk erpartisipasi dalam
tindakan demokrasi. Di dalam The
Canon Debate, Knowledge Construction, and Multicultural Education, Banks
mengidentifikasi tiga kelompok cendekiawan yang berbeda dalam menyoroti
keberadaan kelompok – kelompok budaya di Amerika Serikat yaitu:
1)
Traditionalis Barat
Tradisionalis barat,
seperti halnya dengan kelompok prulalisme budaya dari Horce Kellen,
menyakini bahwa budaya yang dominan dari peradaban barat yaitu kelompok
white, Anglo saxon dan protestan. Kelompok ini beranggapan bahwa mereka berada
diposisi terancam dan berbahaya ., karena mengenyampingkan kelompok feminis,
minoritas dan reformasi multikultural yang lain. Namun tidak seperti kelompok
pluralisme budaya Kellen, tradisional barat masih sedikit memberi perhatian
pada pengajaran keanekaragaman atau multikultur.
2)
Kelompok Afrosentris
Kelompok ini
beranggapan bahwa pengabaian kelompok lain itu memang benar terjadi dan
kelompok ini juga berpendapat bahwa sejarah dan budaya orang Afrika lah yag
seharusnya menjadi sentraldari kirukulum. Afrosentris juga menyakini bahwa
sejarah dan budaya orang afrika menjadi sentral dan kurikulum untuk memotifasi
siswa Afrika-Amerika dalam belajar.
3)
Multikulturalis, yang percaya bahwa pendidikan
seharusnya direformasi untuk lebih memberi perhatian pada pengalaman orang
kulit berwarna dan wanita. Kelompok ini sekarang sedang berkembang dan sedang
memperjuangkan posisi ditengah dominasi kelompok yang sudah mapan.
3. Pandangan Bill Martin mengenai Pendidikan
Multikultural
Dalam tulisannya yang berjudul Multiculturalism:
Consumerist or Transformational?, Bill Martin menulis, bahwa keseluruhan isu
tentang multikulturalisme memunculkan pertanyaan tentang “perbedaan” yang
nampak sudah dilakukan berbagai teori filsafat atau teori sosial. Sebagai agenda
sosial dan politik, jika multikulturalisme lebih dari sekedar tempat bernaung
berbagai kelompok yang berbeda, maka harus benar-benar menjadi ‘pertemuan’ dari
berbagai kelompok itu yang tujuannya untuk membawa pengaruh radikal bagi semua
umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal (Martin, 1998: 128).
Seperti halnya Banks, Martin menentang tekanan
dari afrosentri dan tradisionalos barat. Martin menyebut afrosentris dan
tradisionalis barat itu sebagai “consumerist multiculturalism” bukan “konsumeris”
tetapi “transformational, yang memerlukan kerangka kerja. Martin mengatakan
bahwa dismping isu tentang kelas sosial, ras, etnis dan pandangan lain berbeda,
diperlukan komunikasi tentang berbagai segi pandangan yang berbeda. Masyarakat
harus memiliki visi kolektif tipe baru dari perubahan sosial menuju
multikulturalisme yaitu visi yang muncul lewat transformasi. Martin memandang
perlu adanya perubahan yang mendasar diantara kelompok-kelompok budaya itu
sampai diketemukan adanya visi baru yang dimiliki dan dikembangkan bersama.
II.
Pendekatan terhadap Pendidikan Multikultural
1.
Kurikulum Berpusat Pada Paham Budaya Utama
Kelompok
budaya yang dominan di masyarakat AS
disebut aliran utama budaya orang Amerika. Sebagian besar kurikulum
sekolah, buku teks, dan materi pelajaran kurang memberi perhatian pada kelompok
ini. Bahkan, sebagian besar kurikulum, buku teks, dan materi pelajaran lebih berfokus pada White Anglo-Saxon
Protestants (Banks, 1993: 195). Kurikulum yang hanya berfokus pada aliran utama
(budaya dominan) Amerika dan mengabaikan pengalaman, budaya dan sejarah dari
kelompok etnis, ras, budaya dan agama yang lain akan memiliki konsekuensi yang
negatif. Konsekuensi negatif bagi siswa Amerika dari aliran utama maupun siswa
dari kulit berwarna yang bukan termasuk dalam kelompok dominan ini. James A.
Banks berpendapat bahwa kurikulum yang berpusat pada aliran utama (a
mainstream-centric curriculum) ini justru dapat menjadi satu cara utama yang
memperkuat rasisme dan etnosentrisme dan hal ini diabadikan di sebagian besar
sekolah dan di masyarakat Amerika.
Kurikulum berpusat pada aliran utama memiliki konsekuensi
negatif terhadap siswa dari aliran utama karena kurikulum ini memperkokoh rasa
superioritas yang keliru (false sense of superiority), memberi mereka konsepsi
yang salah tentang hubungan mereka dengan kelompok ras dan etnis lainnya, dan
menolak kesempatan memperoleh manfaat dari pengetahuan, perspektif, dan
kerangka pikir yang dapat diperoleh dari mengkaji dan mengalami budaya dan
kelompok lain. Kurikulum
yang berpusat pada aliran utama juga mengabaikan kesempatan siswa Amerika
aliran utama untuk melihat kebudayaan mereka dari sudut pandang budaya lain.
Jika orang melihat kebudayaan mereka dari sudut pandang budaya lain, mereka
dapat memahami budayanya sendiri secara lebih utuh. Dengan demikian mereka
dapat melihat bagaimana keunikannya dan perbedaanya dari budaya lain, dan
memahami secara lebih baik bagaimana budaya itu berhubungan dan berinteraksi
dengan budaya lainnya. Kurikulum
berpusat aliran utama berpengaruh secara negatif terhadap siswa kulit berwarna,
seperti orang Afrika-Amerika, Hispanis, dan Asia-Amerika. Kurikulum itu
mengabaikan pengalaman dan budaya mereka dan tidak menggambarkan impian,
harapan, dan perspektif kelompok yang tidak termasuk aliran utama ini.
Pada
pendekatan berpusat aliran utama, peristiwa, tema, konsep, dan isu dipandang
terutama dari perspektif kelas menengah Anglo-Amerika dan Eropah. Perkembangan
peristiwa dan budaya seperti eksplorasi orang Eropah di Amerika dan perkembangan
musik Amerika dipandang dari perspektif Anglo dan Eropah dan dievaluasi dengan
menggunakan kriteria dan sudut pandang dari aliran utama.
2.
Upaya Menyusun Kurikulum Multikultural
Sejak
gerakan hak-hak sipil tahun 1960-an, para pendidik sedang mencoba, dengan
berbagai cara, mengintegrasikan kurikulum sekolah secara lebih baik dengan
materi etnis dan berupaya mengubah kurikulum berpusat Eropah (aliran utama).
Hal ini dibuktikan dengan sulitnya merumuskan tujuan sekolah karena adanya
berbagai pertimbangan yang kompleks.
Ideologi Kaum Asimilasi yang kuat yang dianut oleh sebagian besar
pendidik AS adalah satu alasan utama. Ideologi asimilasionis membuat
pendidiknya sulit berpikir beda tentang bagaimana masyarakat dan budaya AS
berkembang dan memperoleh komitmen untuk membuat kurikulum multikultural.
Individu yang memiliki ideologi asimilasionis yang kuat berpandangan bahwa
peristiwa dan perkembangan paling penting di masyarakat AS dihubungkan dengan
warisan negara Inggris dan bahwa kontribusi kelompok etnis dan budaya yang lain
tidak begitu penting.
Perlawanan
ideologis (ideological resistance) merupakan faktor utama yang memperlambat dan
masih lambatnya perkembangan multikultural, namun faktor lain juga mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangannya. Perlawanan politis terhadap kurikulum
multikultural sangat berkaitan dengan perlawanan ideologis. Beberapa orang yang
menentang kurikulum multikultural meyakini bahwa pengetahuan adalah kekuatan
dan bahwa perspektif multikultural masyarakat AS menantang struktur kekuatan
yang ada. Jadi mereka berpandangan bahwa kemunculan kurikulum multikultural
bisa dianggap sebagai kekuatan baru yang membahayakan eksistensi dari kelompok
yang menjadi aliran utama ini. Mereka yakin bahwa kurikulum berpusat pada
aliran utama yang dominan mendukung, memperkuat, dan membenarkan struktur
sosial, ekonomi dan politik yang ada. Kurikulum berpusat pada aliran utama
berusaha mempertahankan status quo. Sedangkan perspektif dan sudut pandang
multikultural akan membenarkan dan mempromosikan perubahan sosial dan
rekonstruksi sosial. Ada dua sisi yang berhadapan yakni kelompok aliran utama
ingin mempertahankan status quo seperti sekarang ini dan kelompok multikultural
yang ingin melakukan rekonstruksi sosial.
Faktor
lain yang memperlambat pelembagaan kurikulum multikultural mencakup rendahnya
tingkat pengetahuan tentang budaya etnis yang dikuasai sebagian besar pendidik
dan beratnya beban pelajaran yang ada pada buku teks. Pengajar harus memiliki
pengetahuan yang mendalam tentang budaya etnis dan juga memiliki pengalaman
mengintegrasikan materi, pengalaman, dan sudut pandang etnis dalam kurikulum.
Pengajar menceritakan pada siswanya bahwa Columbus menemukan Amerika dan bahwa Amerika
adalah suatu “dunia baru” karena mereka hanya memiliki sedikit pengetahuan
tentang aneka budaya Amerika Asli yang ada di Amerika selama lebih dari 40.000
tahun. Padahal bangsa Eropah baru menempati Amerika dalam jumlah yang
signifikan pada abad enambelas.
Beberapa
studi telah menyatakan bahwa buku teks masih menjadi sumber utama pengajaran,
khususnya mata pelajaran tertentu seperti studi sosial, membaca, dan seni
bahasa. Beberapa perubahan signifikan telah dibuat dalam buku teks sejak
gerakan hak-hak sipil tahun 1960-an. Banyak kelompok etnis dan wanita telah
muncul dalam buku teks saat ini dibandingkan masa lampau. Namun, materi tentang
kelompok etnis dalam buku teks biasanya disajikan dari perspektif aliran utama,
mengandung informasi dan kepahlawanan yang diseleksi dengan menggunakan
kriteria aliran utama, dan jarang terintegrasi secara konsisten dan total.
Informasi seputar kelompok etnis biasanya dibahas dalam unit, topik, dan bagian
teks yang khusus. Mereka mendekati pengajaran bermuatan etnis dalam cara-cara
yang terpilah-pilah.
3.
Tahap – Tahap Integrasi Materi Multikultural ke
dalam Kurikulum.
Sejak
tahun 1960-an dapat diidentifikasi ada empat pendekatan yang mengintegrasikan
materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum:
a.
Pendekatan Kontribusi ( The Contributions
Appproach )
Level 1
ini adalah satu dari yang paling sering dan paling luas dipakai dalam fase
pertama dari gerakan kebangkitan etnis (ethnic revival movement). Juga sering
digunakan jika sekolah mencoba mengintegrasikan materi etnis dan multikultural
ke dalam kurikulum aliran utama.
Ciri
pendekatan kontribusi adalah dengan memasukkan pahlawan etnis dan benda-benda
budaya yang khas ke dalam kurikulum, yang dipilih dengan menggunakan kriteria
budaya aliaran utama. Jadi individu seperti Crispus Attucks, Benjamin Bannaker,
Sacajawea, Booker T. Washington, dan Cesar Chavez sebagai pahlawan dari
kelompok multikultural ditambahkan dalam kurikulum. Mereka dibahas saat
pahlawan Amerika aliran utama seperti Patrick Henry, George Washington, Thomas
Jefferson, dan John F. Kennedy dipelajari dalam kurikulum inti. Elemen budaya
yang khas seperti makanan, tari, musik dan benda kelompok etnis dipelajari,
namun hanya sedikitmemberi perhatian
pada makna dan pentingnya budaya khas itu bagi komunitas etnis.
Karakteristik
penting dari pendekatan kontribusi adalah bahwa kurikulum aliran utama tetap
tidak berubah dalam struktur dasar, tujuan, dan karakteristik. Persyaratan
implementasi pendekatan ini adalah minimal yang hanya mencakup pengetahuan
dasar mengenai masyarakat AS dan pengetahuan tentang pahlawan etnis dan peranan
dan kontribusinya terhadap masyarakat dan budaya AS.
Pendekatan
kepahlawanan dan hari libur adalah varian dari pendekatan kontribusi. Dalam
pendekatan ini, materi etnis terutama terbatas pada hari, minggu dan bulan
spesial yang berhubungan dengan peristiwa dan peringatan etnis. Cinco de Mayo,
HUT Martin Luther King, dan Minggu Sejarah Afrika Amerika merupakan contoh hari
dan minggu etnis yang diperingati di sekolah. Selama perayaan ini, pengajar
melibatkan siswa dalam pelajaran, pengalaman, dan pawai sejarah yang berkaitan
dengan kelompok etnis yang sedang diperingati. Ketika pendekatan ini digunakan,
kelas mempelajari sedikit atau tidak sama sekali tentang kelompok etnis sebelum
atau sesudah peristiwa atau kesempatan khusus itu.
Pendekatan
kontribusi memberi kesempatan pada guru untuk mengintegrasikan materi etnis ke
dalam kurikulum secara cepat dengan memberi pengenalan tentang kontribusi etnis
terhadap masyarakat dan budaya AS. Pengajar yang komit untuk mengintegrasikan
materi etnis ke dalam kurikulum hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang
kelompok etnis dan hanya sedikit merevisi kurikulum. Akibatnya, mereka
menggunakan pendekatan kontribusi saat mengajarkan tentang kelompok etnis.
Guru-guru ini seharusnya mendorong, mendukung, dan memberi kesempatan untuk
mempelajari pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk mereformasi
kurikulumnya dengan menggunakan satu atau beberapa pendekatan yang efektif.
Pendekatan
kontribusi juga merupakan pendekatan paling awal bagi pengajar untuk digunakan
untuk mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum. Namun, pendekatan ini
memiliki beberapa kelemahan serius. Jika integrasi kurikulum dilengkapi
terutama dengan memasukkan pahlawan dan kontribusi etnis, siswa tidak
memperoleh pandangan global tentang peranan kelompok etnis dan budaya di
masyarakat AS. Lebih dari itu, mereka melihat isu dan peristiwa etnis terutama
sebagai tambahan terhadap kurikulum dan akibatnya budaya itu hanya berkedudukan
sebagai tempelan terhadap sejarah utama perkembangan bangsa dan terhadap
kurikulum inti dari seni bahasa, studi sosial, seni, dan bidang pelajaran yang
lain.
b.
Pendekatan Aditif (Additive Approach).
Tahap
kedua Pendekatan penting lain terhadap integrasi materi etnis terhadap
kurikulum adalah penambahan materi, konsep, tema dan perspektif terhadap
kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan dan karateristik dasarnya. Pendekatan
Aditif (Tahap 2) ini sering dilengkapi dengan penambahan suatu buku, unit, atau
bidang terhadap kurikulum tanpa mengubahnya secara substansial. Contoh
pendekatan ini meliputi penambahan buku seperti The Color Purple pada suatu
unit tentang abad duapuluh, penggunaan film Miss Jane Patman selama unit
tentang 1960-an, dan penambahan tentang suatu unit pada tawanan Jepang Amerika
selama studi Perang Dunia II di sebuah kelas sejarah Amerika Serikat.
Pendekatan aditif memungkinkan pengajar untuk memasukkan
materi etnis ke dalam kurikulum tanpa restrukturisasi, suatu proses yang akan
memakan waktu, usaha, latihan dan pemikiran kembali dari maksud, sifat dan
tujuan kurikulum yang substansial. Pendekatan
aditif dapat menjadi fase awal dalam upaya reformasi kurikulum transformatif
yang didesain untuk menyusun kembali kurikulum total dan untuk
mengintegrasikannya dengan materi, perspektif dan kerangka pikir etnis.
Yang
paling penting adalah pandangan tentang materi etnis dari perspektif sejarawan,
penulis, artis, dan ilmuwan aliran utama yang tidak memerlukan restrukturisasi
kurikulum. Peristiwa, konsep, isu, dan masalah yang diseleksi untuk studi
diseleksi dengan menggunakan kriteria dan perspektif Eurosentris dan aliran
utama sentris. Jika mengajar suatu unit seperti Gerakan Barat pada kelas
sejarah di AS kelas 5, guru dapat mengintegrasikan unit dengan menambahkan
materi tentang Oglala Sioux Indian. Namun, unit tetap berpusat dan difokuskan
pada aliran utama. Suatu unit disebut Gerakan Barat dan Eropah sentris sebagai
aliran utama karena berfokus pada orang Eropah Amerika dari bagian Timur ke
Barat Amerika Serikat.
Isi,
materi, dan isu yang ditambahkan ke dalam kurikulum seperti embel-embel
daripada bagian integral dari unit pelajaran dapat menjadi problematis. Problem
mungkin muncul jika buku seperti The Color Purple atau film seperti Miss Jane
Pittman ditambahkan pada unit jika siswa kekurangan konsep, latar belakang
materi, dan kematangan emosional sehubungan dengan isu dan masalah dalam materi
ini. Penggunaan efektif dari materi yang kompleks dan bermuatan emosi biasanya
memerlukan guru yang membantu siswa mempelajari secara bertahap dan berkembang,
memiliki latar belakang materi yang kuat serta memiliki kematangan sikap.
Penggunaan kedua materi ini di kelas dan sekolah yang berbeda telah menimbulkan
masalah utama bagi pengajar yang menggunakannya. Suatu kontroversi masyarakat
timbul. Masalah berkembang karena materi digunakan pada siswa yang tidak
memiliki latar belakang isi atau kepuasan sikap untuk meresponnya secara
memadai. Menambahkan materi etnis ke
dalam kurikulum menurut cara yang sporadis dan terpilah-piliah dapat
menyebabkan masalah pedagogis, kesulitan bagi guru, kebingungan siswa, dan
kontroversi masyarakat.
c.
Pendekatan Transformasi
Pendekatan
transformasi (The transformation approach) berbeda secara mendasar dari
pendekatan kontribusi dan aditif. Pada kedua pendekatan, materi etnis
ditambahkan pada kurikukulum inti aliran utama tanpa mengubah asumsi dasar,
sifat, dan strukturnya. Dalam pendekatan transformasi ada perubahan dalam
tujuan, struktur, dan perspektif fundamental dari kurikulum.
Pendekatan
transformasi (tahap 3) mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan
kompetensi siswa dalam melihat konsep, isu, tema dan problem dari beberapa
perspektif dan sudut pandang etnis. Perspektif berpusat pada aliran utama
adalah hanya satu di antara beberapa perspektif darimana isu, masalah, konsep,
dan isu dipandang. Tidak mungkin dan tidak inginlah untuk melihat setiap isu,
konsep, peristiwa atau masalah dari sudut pandang setiap kelompok etnis AS.
Lebih dari itu, tujuan seharusnya memungkinkan siswa untuk melihat konsep dan
isu lebih dari satu perspektif dan melihat peristiwa, isu, atau konsep yang
sedang dipelajari dari sudut pandang kelompok etnis, budaya dan ras partisipan
yang paling aktif, atau berpengaruh paling meyakinkan (Banks, 1993: 203).
Isu kurikulum esensial yang terdapat dalam reformasi
kurikulum multikultural bukan penambahan dari daftar panjang dari kelompok,
pahlawan, atau kontribusi etnis namun pemasukan berbagai perspektif, kerangka
pikir, dan materi dari berbagai kelompok yang akan memperluas pemahaman siswa
akan sifat, perkembangan, dan kompleksitas masyarakat AS. Jika siswa sedang mempelajari revolusi dari
koloni Inggris, perspektif dari revolusi Anglo, loyalis Anglo, Afrika Amerika,
India, dan Inggris adalah esensial bagi mereka untuk memperoleh suatu pemahaman
utuh tentang peristiwa yang signifikan dalam sejarah Amerika. Siswa harus
mempelajari revolusi dari berbagai kelompok yang berbeda ini untuk dipahami
secara utuh.
Dalam seni bahasa, jika siswa sedang mempelajari sifat
bahasa Inggris Amerika, mereka seharusnya dibantu untuk memahami perbedaan
bahasa dan kekayaan linguistik di Amerika Serikat dan hal-hal dari berbagai
kelompok regional, kultural, dan etnis mempengaruhi perkembangan bahasa Inggris
AS. Siswa
seharusnya juga mengkaji bagaimana penggunaan bahasa normatif berbeda dalam
konteks sosial, wilayah dan situasi. Pemakaian bahasa Inggris orang kulit hitam
sesuai untuk konteks sosial dan kultural tertentu dan tidak cocok untuk yang
lain. Ini juga benar bagi bahasa Inggris AS baku. Jika mempelajari musik, tari,
dan sastra, guru seharusnya memperkenalkan siswa dengan bentuk-bentuk seni di
antara etnis AS yang amat berpengaruh dan memperkaya tradisi seni dan sastra
negara ini.
Jika
mempelajari sejarah, bahasa, musik, seni, sains, dan matematika AS, penekanan
seharusnya bukan pada cara-cara di mana berbagai kelompok etnis dan budaya itu
telah berkontribusi pada aliran utama budaya dan masyarakat AS. Lebih dari itu,
penekanan seharusnya pada bagaimana budaya dan masyarakat AS pada umumnya
muncul dari sintesis dan interaksi kompleks dari elemen budaya yang berbeda
yang asalnya dari berbagai kelompok budaya, ras, etnis, dan agama yang
membentuk masayarakat Amerika. Banks menyebut proses ini multiple acculturation
dan berpendapat bahwa sekalipun Anglo-Saxon Protestan adalah kelompok dominan
di Amerika Serikat secara kultural, politis, dan ekonomis, akan terjadi salah
pengertian dan tidak akuratlah untuk menggambarkan budaya dan masyarakat AS
sebagai budaya Anglo-Saxon Protestan.
Konsepsi
akulturasi ganda (a multiple acculturation conception) dari masyarakat dan
budaya AS mengarah pada perspektif bahwa memandang peristiwa etnis, sastra,
musik, dan seni sebagai bagian integral dari yang membentuk budaya AS secara
umum. Budaya WASP hanya dipandang sebagai bagian dari keseluruhan budaya yang
lebih besar. Jadi mengajari sastra Amerika tanpa melibatkan penulis kulit
berwarna yang signifikan memberikan pandangan yang parsial dan tidak lengkap
tentang sastra, budaya, dan masyarakat AS.
d.
Pendekatan Aksi Sosial
Pendekatan
Aksi Sosial (the Social Action Approach) mencakup semua elemen dari pendekatan
transformasi namun menambahkan komponen yang mempersyaratkan siswa membuat
keputusan dan melakukan aksi yang berkaitan dengan konsep, isu, atau masalah
yang dipelajari dalam unit. Tujuan utama dari pengajaran dalam pendekatan ini
adalah mendidik siswa melakukan untuk kritik sosial dan perubahan sosial dan
mengajari mereka ketrampilan pembuatan keputusan. Untuk memperkuat siswa dan
membantu mereka memperoleh kemanjuran politis, sekolah seharusnya membantunya
menjadi kritikus sosial yang reflektif dan partisipan yang terlatih dalam
perubahan sosial. Tujuan tradisional dari
persekolahan yang telah ada adalah untuk mensosialisasi siswa sehingga mereka
menerima tanpa bertanya ideologi, lembaga, dan praktek yang ada dalam
masyarakat dan negara.
D. BAHAN
DISKUSI
1.
Dari
berbagai pendekatan terhadapPendidikan Multikultural yang telah dijabarkan,
diskusikan dengan kelompok
bagaimana Kurikulum yang berpusat pada paham budaya utama.
2. Dari berbagai pendekatan terhadapPendidikan Multikultural yang telah dijabarkan,
diskusikan dengan kelompok
bagaimana upaya menyusun kurikulum multikultural.
3.
Dari
berbagai pendekatan terhadapPendidikan Multikultural yang telah dijabarkan,
diskusikan dengan kelompok
bagaimana tahap – tahap integrasi materi Multikultural ke
dalam kurikulum.
E. SUMBER
PUSTAKA
Kareba. 2012, Teori dan Pendekatan Multikultural. Diakses 10 September 2015 dari http://kareba-toraja.blogspot.co.id/2012/11/teori-dan-pendekatan-pendidikan.html
Pendidikan Multikultural. 2009, Pendidikan Multikultural. Diakses 10
September 2015 dari http://rifkiarifatul.blogspot.co.id/2009/12/pendidikan-multikultural.html
Putrimayseri. 2012. Teori Pendidikan Multikultural. Diakses 10 September 2015 dari https://putrimayseri.wordpress.com/2012/11/30/4/
Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural.
Jakarta. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional.
0 komentar:
Posting Komentar