BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak awal
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia para founding fathers
telah menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara. Cita desentralisasi ini senantiasa menjadi
bagian dalam praktek pemerintahan Negara sejak berlakunya UUD 1945, terus
memasuki era Konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai pada era kembali ke UUD 1945 yang
dikukuhkan lewat Dekrit Presiden 5 juli 1959.
Letak
geografis Indonesia yang berupa kepulauan sangat berpengaruh terhadap mekanisme
pemerintahan Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan ini,
menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah.
Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan adanya
berbagai suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan
mandiri tetapi tetap dibawah pengawasan dari pemerintah pusat.
Sebagai
perwujudan dari cita desentralisasi tersebut, maka langkah-langkah penting
sudah dilakukan oleh pemerintah. Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang pemerintahan daerah membuktikan bahwa keinginan untuk
mewujudkan cita-cita ini terus berlanjut. Sekalipun demikian, kenyataan
membuktikan bahwa cita tersebut masih jauh dalam realisasinya. Otonomi daerah
masih lebih sebagai harapan ketimbang sebagai kenyataan yang telah terjadi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Otonomi Daerah belumlah terwujud
sebagaimana yang diharapkan. Kita nampaknya baru menuju ke arah Otonomi Daerah
yang sebenarnya.
Hal tersebut
sangat diperlukan karena mulai munculnya berbagai ancaman terhadap keutuhan
NKRI. Hal itu ditandai dengan banyaknya daerah-daerah yang ingin memisahkan
diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumber daya alam daerah di
Indonesia yang tidak merata juga merupakan salah satu penyebab diperlukannya
suatu sistem pemerintahan untuk memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang
merupakan sumber pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan nasional.
Seperti yang
kita ketahui bersama bahwa terdapat beberapa daerah yang pembangunannya memang
harus lebih cepat dari pada daerah lain. Karena itulah pemerintah pusat membuat
suatu sistem pengelolaan pemerintahan di tingkat daerah yang disebut otonomi
daerah untuk mengelola potensi-potensi dan sekaligus mengembangkannya.
Oleh karena
itu, pemakalah berusaha untuk mengkaji lebih dalam tentang Otonomi Daerah dan
pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian Otonomi Daerah ?
2.
Apakah tujuan Otonomi Daerah ?
3.
Bagaimanakah ciri – ciri Otonomi Daerah ?
4.
Bagaimanakah pembagian kekuaaan dalam Otonomi Daerah ?
5.
Bagaimanakah sejarah perkembangan Otonomi Daerah di
Indonesia ?
6.
Bagaimanakah prinsip Otonomi Daerah ?
7.
Bagaimanakah dasar hukum dan landasan teori Otonomi
Daerah di Indonesia ?
8.
Bagaimanakah pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia ?
9.
Apa sajakah permasalah dan kendala dalam Otonomi
Daerah di Indonesia?
10. Bagaimanakah dampak pelaksanaan Otonomi Daerah
di Indonesia ?
C. Tujuan Makalah
1.
Untuk mengetahui pengertian Otonomi Daerah
2.
Untuk mengetahui tujuan Otonomi Daerah
3.
Untuk mengetahui ciri – ciri Otonomi Daerah
4.
Untuk mengetahui pembagian kekuasaan dalam Otonomi
Daerah
5.
Untuk mengetahui sejarah perkembangan Otonomi Daerah
di Indonesia
6.
Untuk mengetahui prinsip Otonomi Daerah
7.
Untuk mengetahui dasar hukum dan landasan teori
Otonomi Daerah di Indonesia
8.
Untuk mengetahui pelaksanaan Otonomi Daerah di
Indonesia
9.
Untuk mengetahui permasalah dan kendala dalam Otonomi
Daerah di Indonesia
10. Untuk mengetahui dampak pelaksanaan Otonomi
Daerah di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Otonomi Daerah
Otonomi
Daerah berasal dari bahasa yunani yaitu authos yang berarti sendiri dan namos
yang berarti undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan
sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu
Suryaninrat,1985).
Otonomi
dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri”. Sedangkan makna yang
lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Otonomi daerah dengan demikian berarti
kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan
mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Beberapa
pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa:
1.
F. Sugeng
Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga daerah.
2.
Ateng
Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan
atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan (tidak terikat atau tidak bergantung
kepada orang lain atau pihak tertentu).
3.
Syarif Saleh,
berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah
sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa Otonomi Daerah yaitu kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa (inisiatif)
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Tujuan Otonomi Daerah
Menurut
pengalaman dalam pelaksanaan bidang-bidang tugas tertentu sistem Sentralistik
tidak dapat menjamin kesesuaian tindakan-tindakan Pemerintah Pusat dengan
keadaan di daerah-daerah. Maka untuk mengatasi hal ini, pemerintah kita
menganut sistem Desentralisasi atau Otonomi Daerah. Hal ini disebabkan wilayah
kita terdiri dari berbagai daerah yang masing-masing memiliki sifat-sifat
khusus tersendiri yang dipengaruhi oleh faktor geografis (keadaan alam, iklim,
flora-fauna, adat-istiadat, kehidupan ekonomi dan bahasa), tingkat pendidikan
dan lain sebagainya.
Dengan
sistem Desentralisasi diberikan kekuasaan kepada daerah untuk melaksanakan
kebijakan pemerintah sesuai dengan keadaan khusus di daerah kekuasaannya
masing-masing, dengan catatan tetap tidak boleh menyimpang dari garis-garis
aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Jadi pada dasarnya, maksud
dan tujuan diadakannya pemerintahan di daerah adalah untuk mencapai efektivitas
pemerintahan.
Otonomi yang
diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah ini bersifat mandiri dan bebas.
Pemerintah daerah bebas dan mandiri untuk membuat peraturan bagi
wilayahnya. Namun, harus tetap mempertanggungjawabkannya dihadapan Negara dan
pemerintahan pusat. Dibawah ini adalah beberapa tujuan dari otonomi daerah
dilihat dari segi politik, ekonomi, pemerintahan, sosial budaya dan ekonomi yaitu
1.
Dilihat dari segi politik, penyelenggaraan otonomi
dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan dipusat dan membangun
masyarakat yang demokratis, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan
dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.
2.
Dilihat dari segi pemerintahan, penyelenggaraan
otonomi daerah untuk mencapai pemerintahan yang efisien.
3.
Dilihat dari segi sosial budaya, penyelenggaran
otonomi daerah diperlukan agar perhatian lebih fokus kepada daerah.
4.
Dilihar dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar
masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di daerah
masing-masing.
C. Ciri – Ciri Otonomi Daerah
Negara
Kesatuan
|
Negara Federal
|
Otonomi daerah
|
Setiap daerah
memiliki perda (dibawah UU)
|
Setiap daerah mempunyai UUD derah yang
tidak bertentangan dengan UUD negara (hukum tersendiri)
|
Setiap daerah memiliki perda (dibawah UU)
|
Perda terikat
dengan UU
|
UUD daerah tidak terikat dengan UU negara
|
Perda terikat dengan UU
|
Kepala
negara/kepala daerah tidak punya hak veto
|
Kepala negara/kepala daerah punya hak veto
|
Kepala negara/kepala daerah tidak punya hak
veto
|
Hanya Presiden
berwenang mengatur hukum
|
Presiden berwenang mengatur hukum untuk
negara sedangkan kepala daerah untuk daerah
|
Hanya Presiden berwenang mengatur hukum
|
DPRD (propinsi)
tidak punya hak veto terhadap UU yang disahkan DPR
|
DPRD (propinsi) punya hak veto terhadap UU
yang disahkan DPR
|
DPRD (propinsi) tidak punya hak veto
terhadap UU yang disahkan DPR
|
Perda dicabut
pemerintah pusat
|
Perda dicabut DPR dan DPD setiap daerah
|
Perda dicabut pemerintah pusat
|
Sentralisasi
|
Desentralisasi
|
Semi sentralisasi
|
Bisa interversi
dari kebijakan pusat
|
Tidak bisa interversi dari kebijakan pusat
|
Bisa interversi dari kebijakan pusat
|
Perjanjian dengan
pihak asing/luar negeri harus melalui pusat
|
Perjanjian dengan pihak asing/luar negeri
harus melalui pusat
|
Perjanjian dengan pihak asing/luar negeri
harus melalui pusat
|
APBN dan APBD
tergabung
|
APBD untuk setiap daerah dan APBN hanya
untuk negara
|
APBN dan APBD tergabung
|
Pengeluaran APBN
dan APBD dihitung perbandingan
|
Pengeluaran APBN dan APBD dihitung
pembagian
|
Pengeluaran APBN dan APBD dihitung
perbandingan
|
Setiap daerah
tidak diakui sebagai negara berdaulat
|
Setiap daerah diakui sebagai negara
berdaulat dan sejajar
|
Setiap daerah tidak diakui sebagai negara
berdaulat
|
Daerah diatur
pemerintah pusat
|
Daerah harus mandiri
|
Daerah harus mandiri
|
Keputusan pemda diatur
pemerintah pusat
|
Keputusan pemda tidak ada hubungan dengan
pemerintah pusat
|
Keputusan pemda diatur pemerintah pusat
|
Tidak ada
perjanjian antar daerah jika SDM/SDA dilibatkan
|
Ada perjanjian antar daerah jika SDM/SDA
dilibatkan
|
Tidak ada perjanjian antar daerah jika
SDM/SDA dilibatkan
|
Masalah daerah
merupakan tanggung jawab bersama
|
Masalah daerah merupakan tanggung jawab
pemda
|
Masalah daerah merupakan tanggung jawab
bersama
|
3 kekuasaan
daerah tidak diakui
|
3 kekuasaan daerah diakui
|
3 kekuasaan daerah tidak diakui
|
Hanya hari libur
nasional diakui
|
Hari libur nasional terdiri dari pusat dan
daerah
|
Hanya hari libur nasional diakui
|
Bendera nasional
hanya diakui
|
Bendera nasional serta daerah diakui dan
sejajar
|
Bendera nasional hanya diakui
|
Hanya bahasa nasional
diakui
|
Beberapa bahasa selain nasional diakui
setiap daerah
|
Hanya bahasa nasional diakui
|
D. Pembagian Kekuasaan dalam Otonomi
Daerah
Pembagian
antara pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi
dengan semangat federalisme. Jenis kekusaan yang ditangani pusat hampir sama
dengan yang ditangani oleh pemerintah di negara federal, yaitu hubungan luar
negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama, serta berbagai
jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah
pusat, seperti kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional, administrasi
pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN), dan pengembangan sumber daya
manusia.
Selain
sebagai daerah otonom, provinsi juga merupakan daerah administratif, maka
kewenangan yang ditangani provinsi atau gubernur akan mencakup kewenangan
desentralisi dan dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom
provinsi dalam rangka desentralisasi mencakup kewenangan yang bersifat lintas
kabupaten dan kota, seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan umum,
perhubungan, kehutanan, dan perkebunan.
1.
Kewenangan pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan
pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang alokasi sumber
daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah provinsi dan
perencanaan tata ruang provinsi.
2.
Kewenangan kelautan yang meliputi eksplorasi,
eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan
administratif, penegakan hukum dan bantuan penegakan keamanan, dan kedaulatan
negara.
3.
Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani
daerah kabupaten dan daerah kota diserahkan kepada provinsi dengan pernyataan
dari daerah otonom kabuapaten atau kota tersebut.
E. Sejarah
Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
1.
Warisan
Kolonial Belanda
Pada tahun
1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi peluang
dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian
staatblaad ini diperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada
tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922.
Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente,
dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu
juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat
(zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah
kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah
kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam
masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi
pemerintahan.
2.
Masa Pendudukan Jepang
Ketika
menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara
ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan
pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta
Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar
tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental
dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas
Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang
(Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan.
Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut
bersifat misleading.
3.
Masa Kemerdekaan
a.
Periode
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Menitik
beratkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND (Komite Nasional
Daerah) di karesidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang
dianggap perlu oleh Mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang
masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1)
Provinsi
2)
Kabupaten/kota besar
3)
Desa/kota kecil
UU No.1
Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam
batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki
penjelasan.
b.
Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan
kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22
tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam
UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
1)
Propinsi
2)
Kabupaten/kota besar
3)
Desa/kota kecil
4) Yang berhak
mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri
c.
Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU
No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra.
Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah
tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
1)
Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta
Raya
2)
Daerah swatantra tingkat II
3)
Daerah swatantra tingkat III
UU No. 1
Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai
Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950
d.
Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No.
6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitikberatkan pada
kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen
baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal
dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi
sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala
daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.
e.
Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU
ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1)
Provinsi (tingkat I)
2)
Kabupaten (tingkat II)
3)
Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat
pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan
politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan
pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas
lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah
daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif
pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan
DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
f.
Periode
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini
menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya berdasar
asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah
tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya
menjadi:
1)
Provinsi/ibu kota negara
2)
Kabupaten/kotamadya
3)
Kecamatan
Titik berat
otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II
berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi
masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.
g.
Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada
prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih
mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22
tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1)
Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan
prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka
NKRI.
2)
Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi
dan dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk
berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
3)
Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4)
Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum,
UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat
daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan
kesejahteraan bagi masyarakat.
h.
Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal
15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah yang
dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No.
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU
baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan
provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan
administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi,
supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga
provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan
sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di perjelas.
F. Prinsip – Prinsip Otonomi Daerah
Atas dasar
pencapaian tujuan diatas, prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman dalam
pemberian Otonomi Daerah adalah sebagai berikut (Penjelasan UU No. 32 Tahun
2004) :
1.
Prinsip Otonomi Daerah menggunakan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur
semua urusan pemerintah diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan
dalam Undang-undang ini. Daerah memliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
2.
Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk
menangani urusan pemerintah daerah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan
kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan
jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.
3.
Otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang
dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan
nasional.
G. Dasar hukum dan landasan Teori Otonomi Daerah di
Indonesia
1. Dasar Hukum
Tidak hanya pengertian tentang otonomi daerah saja yang perlu kita bahas. Namun
ada dasar-dasar yang bisa menjadi landasan. Ada beberapa peraturan dasar
tentang pelaksanaan otonomi daerah,yaitu sebagai berikut:
a.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 1
hingga ayat 7
b.
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 yang
mengatur tentang pemerintahan daerah.
c.
Undang-Undang No.33 Tahun 2004 yang
mengatur tentang sumber keuangan negara.
Selain berbagai dasar hukum yang
mengatur tentang otonomi daerah, tujuan
pelaksana otonomi daerah,yaitu otonomi daerah harus bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat yang berada di wilayah otonomi
tersebut serta meningkatkan pula sumber daya yang di miliki oleh daerah agar
dapat bersain dengan daerah otonom lainnya.
2. Landasan
Teori
Berikut ini
ada beberapa yang menjadi landasan teori dalam otonomi daerah .
a.
Asas Otonomi
Berikut ini
ada beberapa asas otonomi daerah yang saya tuliskan di sini.Asas-asas tersebut
sebagai berikut:
1)
Asas tertib penyelenggara negara
2)
Asas Kepentingan umum
3)
Asas Kepastian Hukum
4)
Asas keterbukaan
5)
Asas Profesionalitas
6)
Asas efisiensi
7)
Asas proporsionalitas
8)
Asas efektifitas
9)
Asas akuntabilitas
b.
Desentralisasi
Desentralisasi
adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan
aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan,
dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah.
Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya
adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat
dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang
dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi
antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus
tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan
nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan,
pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin
digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk
memenuhi kebutuhan lokal.
c.
Sentralisasi
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai
bentuk penyelenggaraan negara adalah persoalan pembagian sumber daya dan
wewenang. Pembahasan masalah ini sebelum tahun 1980-an terbatas pada titik
perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada pada pemerintah pusat dan
pemerintahan di bawahnya. Dan tujuan “baik” dari perimbangan ini adalah
pelayanan negara terhadap masyarakat.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga
baru-baru ini, pandangan politik yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah
bahwa desentralisasi merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan
daerah. Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru
di mana sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi daerah. Sayang,
situasi ini mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat
bagaimana sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa
desentralisasi di Indonesia adalah “melepaskan diri sebesarnya dari pusat”
bukan “membagi tanggung jawab kesejahteraan daerah”.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak
boleh ditetapkan sebagai suatu proses satu arah dengan tujuan pasti. Pertama-
tama, kedua “sasi” itu adalah masalah perimbangan. Artinya, peran pemerintah
pusat dan pemerintah daerah akan selalu merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak
ada rumusan ideal perimbangan. Selain proses politik yang sukar ditentukan,
seharusnya ukuran yang paling sah adalah argumen mana yang terbaik bagi
masyarakat.
H. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Sejak
diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek
positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Termasuk
diharapkannya penerapan otonomi daerah karena kehidupan berbangsa dan bernegara
selama ini sangat terpusat di Jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa
wilayah lain dilalaikan. Disamping itu pembagian kekayaan secara tidak adil dan
merata di setiap daerahnya. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam
yang melimpah, seperti:Aceh, Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan dan Sulawesi
ternyata tidak menerima perolehan dana yang patut dari pemerintah pusat serta
kesenjangan sosial antara satu daerah dengan daerah lain sangat mencolok.
Otonomi
Daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan
daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena
sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai
pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran.
Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan
daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat
dalam proses pemerintahan dan pembangunan.
Pada masa
lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih
pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah
justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang
didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi Daerah, banyak daerah yang optimis
bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Beberapa
contoh keberhasilan dari berbagai daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu:
1.
Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal
dan LSM yang mendukung telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk
merancang suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat
kemasyarakatan (community-based). Aturan itu ditetapkan untuk memungkinkan
bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk mengelola hutan milik negara
dengan cara yang berkelanjutan.
2.
Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana
dengan bantuan LSM-LSM setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah
provinsi baru tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap
wilayah perikanan tradisional/adat mereka.
Kedua contoh
di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah dapat membawa dampak
positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua contoh diatas dapat terjadi berkat
adanya Otonomi Daerah di daerah terebut.
Pada tahap awal pelaksanaan Otonomi Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-daerah tersebut tidak sabar ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, untuk suara kontra bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan.
Pada tahap awal pelaksanaan Otonomi Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-daerah tersebut tidak sabar ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, untuk suara kontra bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan.
I.
Permasalah
dan kendala pelaksanaan Otonomi Daerah
1.
Pembagian Urusan
Contoh
permasalahan yaitu dalam pembuatan kebijakan pusat untuk daerah (FTZ).
Permasalahan yang paling sering dialami oleh daerah adalah banyaknya aturan
yang saling tumpang tindih antara pusat dan daerah. Akibatnya banyak aturan
pusat yang akhirnya tidak bisa diterapkan di daerah. Salah satu
sebab itu karena pusat tidak memahami keadaan yang sedang dialami daerah
tersebut. Kondisi inilah yang diduga menjadi kendala utama belum maksimalnya
pelaksanaan Free Trade Zone (FTZ) di Kepri ini.
Daerah
selalu menunggu aturan dari pusat atau kebijakan dari pusat sehingga setelah
ditunggu ternyata hasilnya selalu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Seharusnya hal tersebut dapat diatasi apabila pembagian urusan antara daerah
dan pusat tidak tumpang tindih. Artinya, dalam pengusulan suatu konsep
aturan, daerah harus terlibat langsung. Atau dengan kata lain sebelum
pemerintah pusat membuat aturan, daerah memiliki tugas seperti mengajukan
konsep awal yang tidak bertentangan dengan aturan yang ada di daerah. Sehingga
pemerintah pusat dalam menyusun aturan, memiliki landasan yang kuat mengacu
pada konsep daerah.
2.
Pelayanan Masyarakat
Pada
umumnya, Sumber Daya Manusia pada pemerintah daerah memiliki sumber informasi
dan pengetahuan yang lebih terbatas dibandingkan dengan sumber daya pada
Pemerintah Pusat. Hal ini mungkin diakibatkan oleh sistem kepegawaian yang
masih tersentralisasi sehingga Pemerintah Daerah memiliki keterbatasan wewenang
dalam mengelola Sumber Daya Manusianya sesuai dengan kriteria dan
karakteristik yang dibutuhkan oleh suatu daerah. Sehingga pelayanan yang
diberikan hanya standar minimum.
3.
Lemahnya Koordinasi Antar Sektor dan Daerah
Koordinasi
antarsektor tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam suatu kerjasama yang
bersifat operasional tetapi juga koordinasi dalam pembuatan aturan. Dua hal ini
memang tidak serta merta menjamin terjadinya sinkronisasi antar berbagai
lembaga yang memproduksi peraturan dan kebijakan tetapi secara normatif koordinasi
dalam penyusunan peraturan perundangan akan menghasilkan peraturan
perundang-undangan yang sistematisdan tidak bertubrukan satu sama lain.
Walaupun Kepala Daerah dalam kedudukan sebagai Badan Eksekutif
Daerah bertanggung jawab kepada DPRD, namun DPRD sebagai Badan Legislatif
Daerah tetap merupakan partner (mitra) dari dan berkedudukan sejajar dengan
Pemerintah Daerah atau Kepala Daerah. Masalah seperti ini pun
sangat terasa di Pusat.
Kesan
memposisikan diri yang lebih kuat, lebih tinggi dari yang lainnya yang
kadang-kadang disaksikan oleh masyarakat luas. Ada tiga hal yang perlu disadari
dan disamakan oleh legislatif dan eksekutif dalam menyikapi berbagai perbedaan
yaitu pola pikir, pola sikap dan pola tindak. Pola pikir yang harus sama adalah
kita sadar terhadap apa yang harus kita pertahankan dan kita upayakan, yaitu
integritas dan identitas bangsa serta berbagai upaya untuk memajukan dan
mencapai tujuan bangsa. Pola sikap yaitu, bahwa setiap elemen bangsa
mempunyai kemampuan dan kontribusi seberapapun kecilnya. Dan pola tindak yang
komprehensif, terkordinasi dan terkomunikasikan.
4.
Pembagian Pendapatan
UU 25/1999
pada dasarnya menganut paradigma baru, yaitu berbeda dengan paradigma lama,
maka seharusnya setiap kewenangan diikuti dengan pembiayaannya, sesuai dengan
bunyi pasal 8 UU 22/1999. Pada
saat sekarang ini, banyak daerah yang mengeluh tentang tidak proporsionalnya
jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima, baik oleh Daerah Propinsi maupun
Daerah Kabupaten/Kota. Banyak daerah yang DAU-nya hanya cukup untuk membayar
gaji pegawai daerah dan pegawai eks kanwil, Kandep/Instansi vertikal di daerah.
Disamping itu, kriteria penentuan bobot setiap daerah dirasakan oleh
banyak daerah kurang transparan.
Kriteria potensi
daerah dan kebutuhan daerah tampaknya kurang representatif secara langsung
terhadap pembiayaan daerah. Dengan demikian perhitungan DAU yang transparan
sebagaimana diatur dalam pasal 7 UU 25/1999 jo PP 104/2000 tentang
perimbangan keuangan terutama pasal-pasal yang menyangkut perhitungan DAU
dan faktor penyeimbangan, kiranya perlu ditata kembali. Kemudian,
pembagian bagi hasil Sumber Daya Alam (SDA) dirasakan kurang
mengikuti prinsip-prinsip pembiayaan yang layak yang sejalan dengan
pemberian kewenangan Kepala Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Seperti
halnya dalam paradigma lama, melalui paradigma baru pun bagian daerah
selalu jauh dari Sumber Daya Alam yang kurang potensial
(seperti: perkebunan, kehutanan, pertambangan umum dan sebagainya),
sedangkan disektor minyak dan gas alam, hanya mendapat porsi kecil. Bagian
bagi hasil di bidang ini perlu diperbesar, sehingga daerah penghasil mendapat
bagian yang proporsional sebanding dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan
oleh eksplorasi dan eksploitasi SDA tersebut.
5.
Anatisme Daerah (Ego Kedaerahan)
Sifat
seperti ini sangat tidak baik jika ada disuatu wilayah/daerah atau dimanapun,
karena hal ini dapat menimbulkan kesenjangan atau kecemburuan terhadap
daerah-daerahlain. Contoh
pemasalahannya kejadian yang terjadi di daerah kabupaten Anambas
dalam penerimaan CPNS. Bagi pelamar CPNS minimal mempunyai 1 ijazah yang
dikeluarkan oleh disdik kabupaten. Anambas baik SD, SMP, dan SMA. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa terlalu egoisnya suatu daerah yang mengutamakan putra daerah
untuk dapat menjadi CPNS dalam mengembangkan daerahnya sendiri sehinnga untuk
warga daerah lain tidak diberikan peluang untuk menjadi CPNS dan hal ini
juga dapat menimbulkan kerugian bagi warga Anambas karena dapat mengurangi
pendapatan mereka ( yang berjualan atau yang membuka tempat-tempat kos)
Solusinya
sebaiknya dalam hal ini daerah Anambas tidak terlalu egois
dalam penerimaan CPNS ini. Sehingga warga lain yang bukan berasal dari
Anambas dapat bekerja dan dan bersaing demi memajukan daerah tersebut dan
membuka peluang bagi siapapun yang memiliki kemampuan dan skiil serta
pengetahuan mereka dalam berkopetensi untuk bersaing demi kebaikan dan
memajukan daerah tersebut. Hal ini juga dapat meningkatkan pendapatan untuk
penghasilan bagi warga yang memiliki mata pencarian sebagai pedagang dan yang
memiliki rumah-rumah kos. Jika dibandingkan dengan adanya fanatisme.
6.
Disintegrasi
Hal ini
dapat menimbulkan perpecahan atau terganggunya stabilitas keamanan nasional
dalam penyelenggaraan sebuah negara. Hal ini dapat disebabkan olek keegoisan
suatu kelompok masyarakat atau daerah dalam mempertahankan suatu pendapat yang
memiliki unsur kepentingan-kepentingan kelompok satu dengan yang lain. Yang
dapat merugikan atau kecemburuan terhadap kelompok-kelompok yang lain untuk
mendapatkan hak yang sama sehingga dapat memecahkan rasa persatuan dan kesatuan
kita dan dapat menimbulkan berbagai pertikaian dalam sebuah negara atau daerah
tersebut. Contohnya: GAM, RMS, dan lain-lain. Solusinya sebaiknya kita sebagai
warga negara yang baik harusnya tidak egois dalam mempertahankan suatu hak atau
pendapat antara kelompok yang satu dengan yang lain dapat menimbulkan
pertikaian dan mengganggu keamanan didaerah tersebut. Namun kita harus bersatu
demi memajukan daerah atau negara yang kita cintai.
J.
Dampak
Pelaksanaan Otonomi Daerah
1.
Dampak Positif
Dampak
positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah maka pemerintah
daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokalyang ada di
masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan
respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yangberada di daerahnya
sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yangdidapatkan
melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut
memungkinkanpemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun
program promosikebudayaan dan juga pariwisata.
2.
Dampak
Negatif
Dampak
negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagioknum-oknum di
pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikaNegara dan rakyat
seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang adakebijakan-kebijakan
daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang dapat menimbulkan
pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya, atau bahkandaerah
dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi
ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah maka
pemerintahpusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah,
selain itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah membuat peranan pemeritah
pusat tidak begitu berarti.
Beberapa
modus pejabat nakal dalam melakukan korupsi dengan APBD :
a.
Korupsi Pengadaan Barang, Modus :
1)
Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari
harga pasar.
2)
Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender
b.
Penghapusan
barang inventaris dan aset negara (tanah), Modus :
1)
Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
2)
Menjual inventaris kantor untuk kepentingan
pribadi.
c.
Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan
pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya.
Modus :
Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
d.
Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah,
rumah ibadah, panti asuhan dan jompo), Modus : Pemotongan dana bantuan
e.
Bantuan fiktif
Modus :
Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke
pihak luar.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1.
Otonomi Daerah yaitu kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan
2.
Maksud dan tujuan diadakannya pemerintahan di daerah
adalah untuk mencapai efektivitas pemerintahan
3.
Otonomi daerah memiliki ciri – ciri yang
bisa dibandingkan perbedaan serta persamaannya dengan negara kesatuan dan
negara federal
4.
Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom
provinsi dalam rangka desentralisasi mencakup kewenangan yang bersifat lintas
kabupaten dan kota, seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan umum, perhubungan,
kehutanan, dan perkebunan
5.
Sejarah perkembangan Botonomi Daerah di
Indonesia dimulai sejak Zaman Kolonial
Belanda, Masa Pendudukan Jepang hingga Masa Kemerdekaan Indonesia
6.
Prinsip Otonomi daerah adalah prinsip
seluas – luasnya, nyata dan bertanggung jawab
7.
Landasan Hukum Otonomi daerah adalah UUD 1945 Pasal 18 ayat 1 hingga ayat 7, UU No.32 Tahun 2004, UU No.33 Tahun
2004 sedangkan landasan teorinya adalah Asas Otonomi Daerah, desentralisasi dan
sentralisasi
8.
Pelaksanaan Otonomi Daerah, telah banyak mengundang
suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya akan sumber
daya. Sebaliknya, untuk suara kontra
bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi
era otonomi daerah tersebut.
9.
Permasalahan dan kendala dalam Otonomi Daerah meliputi
Pembagian Urusan, Pelayanan Masyarakat, Lemahnya Koordinasi Antar Sektor dan
Daerah, Pembagian Pendapatan, Anatisme Daerah (Ego Kedaerahan) dan Disintegrasi
10. Pelaksanaan Otonomi Daerah selalu membawa
dampak positif maupun negatif bagi daerah tersebut dan bagi kemajuan Indonesia
pada umumnya.
B. Saran
Analisis
Langkah-Langkah Yang Harus Diambil Pemerintah Dalam Mengontrol Otonomi Daerah:
1.
Merumuskan kerangka hukum yang memenuhi aspirasi untuk
otonomi di tingkat propinsi dan sejalan dengan strategi desentralisasi secara
bertahap.
2.
Menyusun sebuah rencana implementasi desentralisasi
dengan memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut penjaminan kesinambungan
pelayanan pada masyarakat,perlakuan perimbangan antara daerah-daerah,dan
menjamin kebijakan fiskal yang berkelanjutan.
3.
Untuk mempertahankan momentum
desentralisasi,pemerintah pusat perlu menjalankan segera langkah
desentralisasi,akan tetapi terbatas pada sektor-sektor yang jelas merupakan
kewenangan Kabupaten dan Kota dan dapat segera diserahkan.
4.
Proses otonomi tidak dapat dilihat sebagai semata-mata
tugas dan tanggung jawab dari menteri negara otonomi atau menteri dalam
negeri,akan tetapi menuntut koordinasi dan kerjasama dari seluruh bidang dalam
kabinet (Ekuin,Kesra & Taskin, dan Polkam).
0 komentar:
Posting Komentar